Kesimpulan Ulasan Komprehensif Dari Fatwa "JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI"
(Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010)
Kesimpulan Ulasan Komprehensif Dari Fatwa "JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI"
(Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010)
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai merupakan respons terhadap dinamika transaksi emas di masyarakat yang kerap dilakukan secara angsuran atau tangguh, serta perbedaan pendapat ulama mengenai kebolehannya. Fatwa ini hadir untuk memberikan pedoman syariah yang jelas.
Latar Belakang dan Urgensi Fatwa:
DSN-MUI menyadari bahwa transaksi emas tidak tunai telah menjadi praktik umum, namun menimbulkan perdebatan sengit di kalangan umat Islam. Akar masalahnya terletak pada status emas yang dalam fikih klasik dipandang sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi) yang mensyaratkan pertukaran secara tunai (yadan bi yad) dan sepadan (mitslan bi mitslin) untuk menghindari riba. Perbedaan pendapat ini mendorong DSN-MUI untuk meninjau kembali hukumnya dengan mempertimbangkan konteks kontemporer.
Dasar Hukum dan Argumentasi Fatwa:
Fatwa ini dibangun di atas fondasi kuat dari Al-Qur'an (QS. al-Baqarah [2]: 275) yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, serta beberapa hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara eksplisit mengatur pertukaran emas dan perak. Hadis-hadis tersebut menegaskan pentingnya syarat tunai untuk mencegah riba, terutama ketika emas dan perak berfungsi sebagai alat tukar.
Namun, inti argumentasi fatwa ini terletak pada penerapan kaidah ushul fikih dan kaidah fikih yang relevan, seperti:
"Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat." Ini menjadi kunci peninjauan ulang. Jika 'illat (penyebab hukum) keberlakuan riba pada emas (yaitu fungsi tsamaniyah atau sebagai alat tukar) telah berubah, maka hukumnya pun bisa berubah.
"Adat (kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan hukum." dan kaidah turunannya yang menyatakan bahwa hukum yang didasarkan pada adat akan berlaku dan batal seiring dengan adat tersebut.
Pendapat Ulama dan Analisis DSN-MUI:
Fatwa ini secara cermat mengkaji berbagai pandangan ulama, baik yang melarang maupun yang membolehkan:
Pendapat yang Melarang (Mayoritas Fuqaha Klasik): Mendasarkan pada hadis-hadis umum tentang riba yang mensyaratkan pertukaran emas dan perak secara tunai, karena keduanya dianggap sebagai alat tukar (tsaman). Jika tidak tunai, dikhawatirkan terjadi riba.
Pendapat yang Membolehkan (Ulama Kontemporer, Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim): Argumentasi utama mereka adalah bahwa emas dan perak (terutama yang sudah diolah menjadi perhiasan atau tidak lagi menjadi alat tukar resmi) telah berubah statusnya menjadi sil'ah (barang komoditas), bukan lagi tsaman (alat tukar). Dengan demikian, hukum riba yang berlaku pada alat tukar tidak lagi relevan. Mereka juga menekankan aspek kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat (hajah/maslahah) yang membutuhkan transaksi ini.
DSN-MUI, melalui rapat plenonya, menyimpulkan bahwa 'illat riba pada pertukaran emas di masa Nabi SAW adalah fungsinya sebagai tsaman (uang). Namun, dengan perkembangan zaman, masyarakat dunia saat ini tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang, melainkan sebagai sil'ah (barang). Definisi naqd (uang) juga diperluas mencakup segala media pertukaran yang diterima umum, dan status sesuatu sebagai uang ditentukan oleh adat serta penerbitan oleh lembaga berwenang. Karena emas tidak lagi menjadi alat tukar resmi, maka syarat-syarat hukum pertukaran emas yang ditetapkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba (misalnya harus tunai) tidak berlaku lagi dalam pertukaran emas dengan uang kertas yang berlaku saat ini.
Keputusan Fatwa (Hukum, Batasan, dan Ketentuan):
Berdasarkan analisis komprehensif tersebut, DSN-MUI memutuskan:
Hukum Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai adalah Boleh (Mubah, Ja'iz): Ini merupakan poin krusial fatwa, selama emas tidak menjadi alat tukar resmi (uang). Ini berarti jual beli emas, baik secara tunai maupun angsuran/murabahah, diperbolehkan dalam konteks saat ini.
Batasan dan Ketentuan:
Harga jual tidak boleh bertambah: Meskipun terjadi perpanjangan waktu setelah jatuh tempo, harga jual awal yang disepakati tidak boleh berubah. Ini mencegah praktik riba jahiliyah yang menambah utang karena keterlambatan pembayaran.
Emas boleh dijadikan jaminan (rahn): Ini memberikan fleksibilitas dalam transaksi, memungkinkan pembeli menggunakan emas yang belum lunas sebagai agunan.
Emas jaminan tidak boleh dijual atau dijadikan objek akad lain: Ini menjaga hak kepemilikan dan menghindari komplikasi hukum selama masa jaminan.
Kesimpulan:
Fatwa DSN-MUI Nomor 77/DSN-MUI/V/2010 adalah sebuah ijtihad kontemporer yang relevan dalam merespons perubahan fungsi emas di masyarakat. Dengan menerapkan kaidah "hukum berputar bersama 'illatnya" dan mempertimbangkan 'urf (kebiasaan) masyarakat modern, DSN-MUI berhasil memberikan solusi syariah yang adaptif dan memudahkan umat. Fatwa ini secara tegas membolehkan jual beli emas secara tidak tunai, namun tetap dengan batasan ketat untuk memastikan tidak ada unsur riba, khususnya pada aspek penentuan harga dan status jaminan. Hal ini menunjukkan dinamisme fikih Islam dalam menjawab tantangan zaman demi kemaslahatan umat.