Tantangan terbesar pendidikan agama hari ini bukanlah ketiadaan ilmu, melainkan kesenjangan antara sumber ilmu yang agung (warisan ulama) dengan metode penyampaian yang efektif untuk peserta didik di era kekinian.
Penyusunan buku paket agama yang relevan dan kontekstual bukan sekadar tugas administratif, melainkan sebuah amanah pedagogis yang menentukan masa depan pemahaman keislaman generasi muda.
1. Menjembatani Kesenjangan Bahasa dan Konteks
Ilmu yang ditinggalkan para ulama terdahulu adalah khazanah tak ternilai. Namun, buku-buku rujukan tersebut umumnya ditulis dengan bahasa, terminologi, dan contoh kasus yang berbeda dengan realitas siswa masa kini.
Tugas Transformasi: Peran vital seorang pendidik adalah transformasi—mengubah substansi ilmu ulama yang mendalam menjadi materi ajar yang praktis, menarik, dan aplikatif. Ini bukan berarti "menciptakan ilmu baru," melainkan mengemas ulang warisan agung itu agar mudah dicerna.
Mengatasi Distraksi Digital: Dalam hiruk pikuk informasi digital, buku ajar harus mampu menarik perhatian dan menyajikan materi agama dengan struktur yang jelas, ilustrasi yang relevan, serta contoh-contoh yang berkaitan langsung dengan kehidupan remaja, mulai dari etika bersosial media hingga isu cyberbullying.
2. Membangun Jiwa Kritis dan Solutif Peserta Didik
Buku ajar yang efektif harus lebih dari sekadar kumpulan dalil. Ia harus menstimulasi pemikiran kritis siswa agar mereka mampu menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Penyajian yang Solutif: Materi ajar modern perlu dirancang dengan fokus pada problem solving. Misalnya, bagaimana konsep muamalah ulama klasik diterapkan dalam transaksi digital? Bagaimana konsep ukhuwah (persaudaraan) diimplementasikan dalam komentar di media sosial?
Menjawab 'Mengapa': Buku ajar harus berani membawa siswa memahami filosofi dan hikmah di balik hukum, bukan hanya menghafal apa hukumnya. Hal ini akan memproteksi mereka dari pemahaman agama yang kaku atau tekstual tanpa ruh.
3. Amanah Inovasi dan Kreativitas Pendidik
Ketika seorang pendidik merasa gentar menyusun buku ajar dengan alasan tawadhuk ("siapa kami dibandingkan ulama?"), niat mulia ini perlu diarahkan ulang. Tawadhuk sejati dalam profesi pendidikan adalah memberikan yang terbaik bagi peserta didik.
Bukan Menandingi, Tapi Melanjutkan: Menulis buku ajar adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada ulama, yakni memastikan bahwa ilmu mereka tetap hidup dan relevan di setiap generasi. Ini bukan upaya menandingi ulama dalam fatwa, melainkan berijtihad dalam metodologi pengajaran.
Wadah Pengejawantahan Ilmu: Buku ajar adalah laboratorium tempat seorang guru mengaplikasikan seluruh ilmu yang ia pelajari, baik ilmu syariah maupun ilmu pedagogi. Jika guru menolak menulis, ia menahan potensi terbesar dirinya untuk berkreasi demi kemaslahatan murid.
Kesimpulannya, menyusun buku ajar di era kekinian adalah kebutuhan mendesak peserta didik, bukan sekadar pilihan guru. Ini adalah panggilan profesional bagi para pendidik untuk berani mengambil peran sebagai juru bahasa yang menerjemahkan warisan ulama yang agung ke dalam bahasa, format, dan konteks yang dipahami oleh generasi digital, demi menghasilkan Muslim yang 'alim (berilmu), adaptif, dan bermanfaat bagi zamannya.