Dalam kehidupan beragama, umat Islam dihadapkan pada berbagai pilihan dalam memahami dan mengamalkan ajaran syariah. Dua konsep utama yang sering muncul dalam diskusi keislaman adalah ittiba’ dan taklid. Kedua istilah ini memiliki peran penting dalam menentukan cara seseorang mengikuti ajaran Islam, baik dengan memahami dalil yang melandasinya (ittiba’) maupun sekadar mengikuti pendapat tanpa mengetahui dalilnya (taklid).
Seiring berkembangnya zaman, pemahaman tentang ittiba’ dan taklid menjadi semakin relevan untuk dibahas. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan aspek individu, tetapi juga menyangkut dinamika sosial umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat, perbedaan madzhab, dan sikap terhadap otoritas ulama. Pada satu sisi, ittiba’ menekankan pentingnya pembelajaran dan pemahaman yang mendalam. Di sisi lain, taklid sering menjadi pilihan bagi mereka yang belum mampu memahami dalil secara langsung.
Pembelajaran tentang ittiba’ dan taklid bertujuan untuk memberikan pengetahuan mendasar kepada umat Islam agar mampu memahami konsep ini secara benar. Dengan demikian, umat Islam dapat lebih bijak dalam mengamalkan ajaran agama, menghindari taklid buta yang berpotensi menyesatkan, dan meningkatkan semangat untuk mencari kebenaran berdasarkan dalil syar’i. Hal ini juga diharapkan dapat menciptakan umat yang lebih kritis, namun tetap menghormati perbedaan yang ada.
Makna ittiba’ secara bahasa berasal dari kata 'tabi'a' yang berarti mengikuti atau menelusuri. Kata ini memiliki beberapa arti, antara lain:
a. Mengikuti seseorang atau sesuatu secara fisik, baik dengan menyusulnya atau mengiringinya. Contohnya firman Allah Ta’ala;
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى
Kata yatba’ dalam ayat itu berarti mengikuti atau mengirinya, sehingga ayat itu berarti bahwa perkataan yang baik dan pengampunan lebih baik dari sedekah yang diikuti atau diiringi dengan menyakiti perasaan orang yang menerima sedekah itu.
b. Menelusuri atau mengejar sesuatu hingga tetap dalam jangkauan pandangan, seperti mengikuti jejak atau memburu mangsa. Misalnya,
تَبِعَهُ خَطْوَةً خَطْوَةً
Kata tabi’a dalam pernyataan itu berarti menelusuri dan mengikutinya langkah demi langkah.
c. Meniru atau mengikuti jejak seseorang, terutama dalam hal teladan. Seperti dalam ayat,
فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِم
Kata tabi’a dalam ayat tersebut berarti meniru atau mengikuti. Sehingga terjemahan ayat itu adalah, “Maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tiadalah kekhawatiran atas mereka.”
d. Mengikuti hawa nafsu (ittiba’ al hawa) atau lainnya: tunduk kepadanya.
e. Mengikuti instruksi (ittiba’ at ta’limaat): mematuhinya.
Jadi, makna bahasa dari 'ittiba' berpusat pada tindakan meniru, menelusuri, atau mengikuti sesuatu atau seseorang dengan tekad untuk berada di belakangnya.
Sedangkan dalam istilah, 'ittiba' berarti
قَبُوْلُ قَوْلِ القَائِلِ وَأَنْتَ تَدْرِيْ مِنْ أَيْنَ مَأْخَذَه
“Menerima perkataan seseorang dengan mengetahui dari mana sumbernya,” artinya seorang mengambil pendapat orang lain setelah mengetahui dalilnya dan metode yang diambil olehnya, sehingga merasa yakin dengan pendapat tersebut beserta dalilnya, kemudian mengikutinya, sehingga menjadi pengikut jalan yang ditempuh oleh orang tersebut. Karena itu, mayoritas pengikut mazhab Imam tertentu dianggap sebagai orang-orang yang mengikuti (muttabi’e), karena mereka mengetahui hukum beserta dalilnya. Begitu pula mayoritas peneliti dan pelajar yang mempelajari fiqh mazhab dianggap sebagai pengikut mazhab, bukan sebagai orang yang hanya sekadar meniru tanpa memahami.
Adapun defenisi taklid, yaitu:
قبول قول القائل وأنت لا تدري من أين مأخذه
“Menerima perkataan seseorang tanpa mengetahui dari mana sumbernya.”
Taklid pada madzhab tertentu belum dikenal di zaman sahabat karena pada zaman itu belum ada madzhab yang utuh sebagaimana yang dikenal saat ini. Hal ini berlanjut hingga zaman tabi'in, sampai muncul para imam mujtahid besar yang kemudian memiliki pengikut, dan mazhab mereka mulai mapan. Taklid mulai terlihat jelas pada pertengahan abad kedua hijriyah. Kemudian, taklid terhadap mazhab dalam arti yang sebenarnya muncul pada awal abad keempat hijriyah dan berlanjut hingga hari ini. Imam Syaukani, rahimahullah, berkata:
إن التقليد (للمذهب) لم يحدث إلا بعد انقراض خير الْقُرُون ثمَّ الَّذين يَلُونَهُمْ وَإِن حُدُوث التمذهب بمذاهب الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة إِنَّمَا كَانَ بعد انْقِرَاض الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة وَإِنَّهُم كَانُوا على نمط من تقدمهم من السّلف فِي هجر التَّقْلِيد وَعدم الِاعْتِدَاد بِهِ وَإِن هَذِه الْمذَاهب إِنَّمَا أحدثها عوام المقلدة لأَنْفُسِهِمْ من دون أَن يَأْذَن بهَا إِمَام من الْأَئِمَّة الْمُجْتَهدين
"Bahwa taklid (terhadap mazhab) baru muncul setelah berakhirnya generasi terbaik, kemudian generasi setelahnya, dan kemudian generasi setelahnya lagi. Kemunculan pengikutan terhadap mazhab-mazhab imam yang empat baru terjadi setelah berakhirnya masa para imam yang empat tersebut. Pada zaman mereka, orang-orang masih mengikuti pola para salaf terdahulu dalam menghindari taklid dan tidak menganggapnya sebagai cara beragama yang patut dijalankan. Mazhab-mazhab ini sebenarnya hanya dibuat oleh orang awam yang bertaklid untuk diri mereka sendiri, tanpa adanya izin dari salah satu imam mujtahid." (As-Syaukaani, 1396)
Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan beragam tingkat kemampuan dan memberikan peran yang berbeda-beda dalam kehidupan. Kehidupan ini berjalan melalui kolaborasi berbagai jenis pekerjaan, di mana masing-masing individu berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Hal ini memungkinkan terciptanya kerjasama dan solidaritas di antara manusia.
Beberapa individu mengarahkan perhatian mereka pada ilmu pengetahuan secara umum, dan sebagian lagi mengarahkannya pada ilmu syariah secara khusus. Dalam konteks keilmuan syariah, tidak semua pencari ilmu agama mampu mencapai tingkat tertinggi, yaitu derajat ijtihad. Hanya segelintir individu dalam setiap generasi yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menguasai ilmu syariah hingga mencapai tingkat ini. Sementara itu, mayoritas pelajar tetap berada pada tingkat yang lebih rendah, sebagaimana mayoritas manusia lainnya yang bergerak di berbagai bidang keilmuan, pekerjaan, atau keahlian lainnya. Mereka yang tidak mencapai derajat ijtihad biasanya mengikuti pendapat ulama dan mujtahid dalam memahami hukum-hukum syariah, bertanya kepada mereka, dan meminta panduan dalam berbagai masalah, keadaan darurat, perselisihan, atau fatwa.
Mujtahid dalam setiap zaman memang langka, sementara mayoritas umat berada dalam lingkup taklid atau ittiba'. Hal ini menjadi dasar perlunya pembahasan terkait kondisi dan hukum yang mengatur para muqallid (orang yang bertaklid) dan muttabi’ (orang yang mengikuti dengan memahami dalil). Penjelasan ini akan menjadi fokus utama dalam bab ini yang akan diuraikan melalui beberapa poin bahasan selanjutnya.
Para ulama membedakan antara konsep taklid dan ittiba’. Taklid adalah ketika seseorang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dalil atau hujah yang mendukung pendapat tersebut. Pengikut dalam taklid hanya menerima pendapat karena rasa percaya, keyakinan, atau sekadar meniru, tanpa memahami dasar hukum atau alasan yang mendasari pendapat tersebut. Ia berpegang teguh pada pendapat itu dan mengikuti arahannya tanpa mempertanyakan dalilnya.
Di sisi lain, ittiba’ adalah mengikuti pendapat orang lain setelah memahami dalil dan metode yang digunakan untuk mencapai pendapat tersebut. Orang yang melakukan ittiba’ meyakini kebenaran pendapat itu beserta dalilnya, lalu mengikutinya dengan kesadaran. Dengan demikian, ia menjadi pengikut metode atau jalan yang ditempuh oleh orang yang ia ikuti. Karena alasan ini, mayoritas pengikut imam madzhab dianggap sebagai orang yang melakukan ittiba’ (muttabi’), bukan sebagai muqallid (orang yang bertaklid), karena mereka memahami hukum-hukum beserta dalilnya. Begitu pula dengan para peneliti dan pelajar yang mempelajari fiqh madzhab, mereka disebut sebagai muttabi’ (pengikut madzhab), bukan sebagai orang yang bertaklid.
Siapa saja yang tidak mencapai derajat ijtihad tetapi mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ijma’, atau hal-hal yang telah diketahui secara pasti, maka ia disebut sebagai orang yang melakukan ittiba’, bukan bertaklid. Bahkan seorang mujtahid yang mengikuti pendapat mujtahid lain dengan memahami dalilnya, tindakan tersebut juga disebut sebagai ittiba’, bukan taklid.
Pernyataan ini didukung oleh pandangan yang dikutip oleh Az-Zarkasyi dari al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfarayini, yang mengatakan:
وَالصَّحِيحُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ الْمُحَقِّقُونَ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ أَصْحَابُنَا أَنَّا إنَّمَا صِرْنَا إلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا عَلَى طَرِيقِ التَّقْلِيدِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ طَرِيقِ الدَّلِيلِ، وَذَلِكَ أَنَّا وَجَدْنَاهُ أَهْدَى النَّاسِ فِي الِاجْتِهَادِ، وَأَكْمَلَهُمْ آلَةً وَهِدَايَةً فِيهِ، فَلَمَّا كَانَتْ طَرِيقَتُهُ أَسَدَّ الطُّرُقِ سَلَكْنَاهُ فِي الِاجْتِهَادِ وَالنَّظَرِ فِي الْأَحْكَامِ وَالْفَتَاوَى، لَا أَنَّا قَلَّدْنَاهُ ...
"Pendapat yang benar yang dipegang oleh para ahli penelitian, termasuk ulama kami, adalah bahwa kami mengikuti madzhab Syafi’i bukan melalui taklid, melainkan melalui dalil. Kami menemukan bahwa beliau adalah yang paling tepat dalam berijtihad, memiliki alat yang paling sempurna, serta petunjuk yang paling jelas. Oleh karena itu, ketika metodenya adalah yang paling benar, kami mengikutinya dalam ijtihad, menelaah hukum-hukum, dan fatwa-fatwa, bukan karena kami taklid kepadanya..." (Az-Zarkasyi, 1994)
Dalam konteks keyakinan dan tindakan, ada dua jenis perkara atau isu yang dipegang dan diyakini oleh seseorang, baik secara teoritis maupun praktis:
a. Jenis Pertama: Hal-hal yang diyakini berdasarkan dalil, pemikiran, dan penelitian yang menghasilkan keyakinan pribadi.
b. Jenis Kedua: Hal-hal yang diambil secara teoritis atau ilmiah hanya dengan meniru orang lain, mengikuti jejak mereka, dan berjalan di jalur yang sama.
Dalam hukum syariah, perkara-perkara ini terbagi menjadi dua kategori utama:
Kategori Pertama: Pokok-Pokok Syariah
Kategori ini mencakup tiga aspek utama (ushuul):
a. Masalah Aqidah:
1) Meliputi aspek-aspek dasar dan cabangnya, seperti keimanan kepada Allah Ta’ala, mengenal-Nya, sifat-sifat-Nya, keesaan-Nya, bukti-bukti kenabian, serta keimanan kepada malaikat, rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan takdir.
2) Hal-hal ini dikenal sebagai "masalah-masalah akal" karena berakar pada penguatan logika dan dalil akal.
b. Akhlak dan Nilai-Nilai Moral:
Berhubungan dengan nilai moral dan perilaku manusia sesuai dengan panduan syariah dan berlaku serta mengikat secara global.
c. Hal-Hal yang Diketahui Secara Pasti dari Agama:
Mencakup kewajiban-kewajiban syariah yang telah ditetapkan secara pasti, seperti rukun Islam yang lima, pokok-pokok ibadah, muamalah, hukuman, serta hal-hal yang diharamkan seperti zina dan riba. Hal-hal ini mencakup pula kehalalan jual beli, pernikahan, dan ketetapan lainnya yang tidak diragukan.
Kategori Kedua: Cabang-Cabang Syariah (furu’)
Kategori ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan amalan praktis, yang dikenal sebagai "masalah syariah dan cabang-cabangnya." Aspek ini mencakup:
a. Fiqh dalam Ibadah: Aturan-aturan yang mengatur tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
1) Muamalah: Hukum-hukum yang mengatur interaksi sosial dan ekonomi, termasuk jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.
2) Kebijakan Syariah (ahkaam dusturiyyah): Peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai syariah.
3) Hukum Keluarga (ahwaal syakhshiyyah): Aturan tentang pernikahan, perceraian, nafkah, dan hak-hak keluarga.
4) Peradilan dan Hukum (al huduud wal jinaayaat): Aturan terkait penyelesaian sengketa, pengadilan, dan pemberlakuan hukuman.
5) Jihad: Hukum-hukum terkait pembelaan agama dan negara dalam kerangka syariah.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa taqlid dalam perkara pertama, yaitu dalam akidah, pokok-pokok umum agama dan perkara-perkara agama yang telah diketahui status hukumnya secara pasti (ma’luumun fil islaami bi ad dharuurah), adalah haram. Namun, taqlid diperbolehkan dalam cabang-cabang dan amalan-amalan syariah. Ada pula ulama yang berbeda pendapat mengenai kedua hal ini, sementara kelompok ketiga memberikan rincian yang lebih spesifik.
a. Hukum Taqlid dalam Akidah dan Pokok-Pokok Umum Agama:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum taqlid dalam akidah dan pokok-pokok umum agama dalam tiga pandangan utama:
Pandangan pertama: Tidak diperbolehkan taqlid dalam akidah, yang merupakan masalah-masalah akal, dan tidak juga dalam pokok-pokok umum seperti akhlak dan hal-hal yang telah diketahui secara pasti dalam agama serta pokok-pokok syariah. Ini adalah pandangan mayoritas ulama dan mazhab, dan sebagian mereka menyebutnya sebagai ijma' dari para ulama. Pendapat ini menegaskan bahwa seseorang harus mengetahui sesuatu dengan cara mempelajari dan mempertimbangkan bukti, apapun tingkat kemampuan, kecakapan, dan kelayakannya.
Mayoritas ulama mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, di antaranya:
1) Perintah Allah untuk berpikir dan merenung: Allah memerintahkan manusia untuk meneliti, berpikir, dan mempertimbangkan, sehingga hal ini menjadi kewajiban. Dalam taqlid, kewajiban tersebut ditinggalkan, yang menjadikannya tidak boleh. Dalilnya adalah firman Allah dalam surah Ali Imran [190-192]:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) [آل عمران: 192 - 196]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيهَا
“Celakalah orang yang membaca ayat-ayat ini tetapi tidak merenungkan (dan mengambil pelajaran darinya)” (HR. Ibnu Hibban) yang menunjukkan kewajiban merenungkan ayat-ayat Allah untuk mengenal-Nya, beriman kepada-Nya, dan memahami sifat-sifat-Nya, sehingga menunjukkan kewajiban berpikir.
2) Ijma': Umat Islam sepakat bahwa wajib mengetahui Allah, sifat-sifat-Nya, dan apa yang layak dan tidak layak bagi-Nya. Pengetahuan ini tidak bisa didapatkan melalui taqlid, karena taqlid mengandung kemungkinan kesalahan atau kebohongan dari yang memberitahukan, sehingga dapat menyesatkan muqallid, seperti halnya seseorang yang bertaqlid dalam keyakinan tentang terjadinya alam atau kekekalannya.
Pandangan kedua: Diperbolehkan taqlid dalam akidah dan pokok-pokok umum agama. Ini adalah pendapat sebagian ulama, yang berdalil dengan ijma' para salaf yang menerima dua kalimat syahadat dari seseorang tanpa menanyakan apakah ia telah mempelajarinya atau tidak. Mereka berpendapat bahwa jika seseorang telah mengenal Allah, mempercayai rasul-Nya, dan hatinya tenang dengan itu, maka tidak masalah dari jalan mana ia mendapatkannya, apakah melalui taqlid, berpikir, atau istidlal. Pendukung pandangan ini menggunakan beberapa dalil, di antaranya:
1) Jika proses berpikir dalam masalah akidah adalah wajib, para sahabat pasti melakukannya dan memerintahkannya: Faktanya, mereka tidak melakukannya, dan jika mereka melakukannya, pasti akan ada riwayat yang mencatatnya seperti riwayat-riwayat mengenai berpikir dalam masalah yang melibatkan proses panjang analisis dan perdebatan dalil-dalil dari berbagai madzhab atau lintas madzhab untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif.
Jawaban atas dalil ini adalah dirincikan pada beberapa poin berikut:
a) Pengetahuan para sahabat tentang akidah didasarkan pada dalil dengan mengandalkan pemahaman alami mereka dan kesaksian terhadap wahyu. Para sahabat memiliki pemahaman yang mendalam dan alami tentang akidah karena mereka langsung menyaksikan wahyu dan mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b) Mereka juga diperintahkan untuk berpikir seperti orang lain. Para sahabat juga diperintahkan untuk menggunakan akal mereka dalam memahami dan menguatkan keimanannya, sama seperti orang lain.
c) Peristiwa dan pengamatan yang menunjukkan keimanan. Banyak peristiwa dan pengamatan yang mereka alami menunjukkan bukti-bukti keimanan, seperti penciptaan manusia, alam semesta, dan kehidupan yang menunjukkan keberadaan Allah, kesempurnaan sifat-sifat-Nya, dan kebebasan-Nya dari kekurangan.
Dengan demikian, meskipun para sahabat mungkin tidak selalu secara eksplisit mencatat proses berpikir mereka dalam masalah akidah, pemahaman mereka tetap didasarkan pada dalil dan pemikiran yang mendalam. Mereka juga memberikan contoh melalui pengalaman dan pengamatan mereka yang memperkuat keimanan dan menunjukkan bukti-bukti keberadaan dan kesempurnaan Allah.
2) Jika berpikir dalam mengenal Allah adalah wajib, itu akan menyebabkan perulangan: Karena kewajiban berpikir yang diperintahkan oleh Allah bergantung pada pengetahuan tentang Allah, sementara pengetahuan tentang Allah bergantung pada berpikir.
Jawaban terhadap ini adalah tidak ada perulangan dalam hal ini. Kewajiban berpikir syar'i bergantung pada pengetahuan tentang Allah dalam satu sisi, dan pengetahuan tentang Allah bergantung pada berpikir dalam sisi yang lebih sempurna mengenai sifat-sifat kemahasempurnaan dan kemahabebasan-Nya dari segala macam kekurangan. Jadi, keduanya adalah dua hal yang berbeda dan tidak menyebabkan perulangan.
Intinya bahwa:
a) Akidah membutuhkan ilmu yang berdasarkan keyakinan yang kuat dan sesuai dengan realitas melalui dalil.
b) Taqlid yang tanpa dalil tidak diterima dalam masalah ini.
Dengan demikian, meskipun ada kewajiban berpikir dalam mengenal Allah, hal ini tidak menyebabkan perulangan karena proses berpikir dan pengetahuan tentang Allah memiliki aspek yang berbeda dan saling melengkapi. Akidah membutuhkan ilmu yang berdasarkan keyakinan yang kuat dan sesuai dengan realitas melalui dalil. Taqlid yang tanpa dalil tidak diterima dalam masalah ini.
Pandangan ketiga: Taqlid dalam akidah dan pokok-pokok umum agama adalah wajib, dan berpikir serta ijtihad adalah haram. Ini adalah pendapat sebagian ulama, dengan alasan bahwa hujah akal tidak dapat diandalkan, dan berpikir bisa mengarah pada keraguan, kesesatan, atau ketidakstabilan pandangan. Sedangkan taqlid dianggap sebagai jalan yang lebih aman dan lebih selamat, sehingga harus diikuti. Dalilnya adalah larangan berpikir dan berdebat mengenai ayat-ayat Allah, serta larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para sahabat untuk membahas takdir. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الأَمْرِ، عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka terlalu banyak membahas hal ini. Saya peringatkan kalian dengan sungguh-sungguh, janganlah kalian saling berbantahan dalam masalah tersebut!” (HR. Tirmidzi)
Para ulama mengatakan bahwa pendapat ini lemah, karena taqlid bisa menyebabkan kesesatan, seperti yang dilakukan kaum musyrik dengan meniru nenek moyang mereka. Larangan berdebat hanya berlaku jika dilakukan dengan kebatilan, sedangkan debat yang baik diperintahkan. Larangan berbicara tentang takdir berlaku karena telah ditetapkan dengan nash, sehingga debat tentangnya dianggap sebagai perdebatan yang tidak berdasar pada kebenaran.
b. Hukum Taqlid dalam Cabang-Cabang Amalan Praktis:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum taqlid dalam cabang-cabang amalan praktis, yaitu masalah-masalah fiqh yang bersifat parsial. Ada beberapa pendapat utama, di antaranya tiga yang paling penting:
Pendapat pertama: Taqlid tidak diperbolehkan dalam cabang-cabang amalan praktis, dan setiap mukallaf wajib berijtihad agar bisa beramal berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah pendapat golongan Zhahiriyah, sebagian Mu'tazilah, dan beberapa kelompok dari Imamiyah, yang berargumen bahwa seorang Muslim diperintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya dan mengambil petunjuk dari perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu tidak boleh.
Namun, pandangan ini dianggap teoritis dan utopis, karena memahami firman Allah dan sabda Rasul membutuhkan ijtihad para ulama, dan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Mayoritas sahabat juga sering bertanya kepada para ulama dari kalangan sahabat dan mengikuti mereka dengan arahan-arahannya.
Pendapat kedua: Taqlid wajib bagi semua orang setelah masa para imam mujtahid, dan setelah itu ijtihad tidak lagi diperbolehkan karena pintu ijtihad telah ditutup dan syarat-syaratnya tidak lagi terpenuhi. Pandangan ini telah dibantah dalam pembahasan sebelumnya. Dan kembali akan diulas secara lebih tegas pada sub bahasan tersendiri setelah ini.
Pendapat ketiga: Terdapat perincian antara mujtahid dan orang awam. Taqlid haram bagi mujtahid karena ia memiliki kemampuan untuk berijtihad dan melakukan penelitian, tetapi wajib bagi orang awam yang tidak memiliki kelayakan untuk berijtihad, meskipun ia seorang ulama dalam bidang lain. Ini adalah pendapat mayoritas pengikut empat mazhab dan sebagian besar peneliti (muhaqqiq). Mereka mendasarkan pandangan ini pada beberapa dalil, di antaranya:
1) Al-Qur'an: Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إلا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) [النحل: 43]
"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad) kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (An-Nahl: 43). Ini adalah teks umum yang berlaku setiap kali ada ketidaktahuan, dan alasan perintah untuk bertanya adalah adanya ketidaktahuan, sehingga seseorang harus bertanya dalam setiap perkara yang tidak diketahuinya.
2) Ijma': Para sahabat dan tabi'in sepakat untuk membenarkan perbuatan para ulama di zaman mereka yang menjawab pertanyaan orang awam tentang hukum-hukum dan keputusan syariah, dan membenarkan perilaku orang awam bertaqlid kepada para ulama tanpa memerlukan dalil atau alasan yang mendasarinya. Hal ini tidak berlaku dalam masalah tauhid, akidah, dan pokok-pokok umum agama karena kemudahan dan jumlahnya yang sedikit.
3) Logika: Tidak ada dalil syar'i yang mewajibkan semua muslim mencapai derajat ijtihad, karena hal itu akan mengharuskan seluruh umat meninggalkan kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan ilmu-ilmu lainnya, yang akan menyebabkan kerusakan dunia. Ini adalah beban yang tidak mampu ditanggung. Oleh karena itu spesialisasi dalam ilmu syariah atau lainnya menjadi fardhu kifayah. Jika sebagian umat telah melaksanakannya, maka kewajiban gugur dari yang lainnya. Orang yang tidak ahli bertanya kepada para ulama yang ahli, menerima pendapat mereka, dan bertaqlid kepada mereka. Selain itu, jika orang awam berijtihad, ia lebih dekat dengan kesalahan karena tidak memiliki kelayakan.
Berdasarkan penjelasan ini dipahami bahwa taqlid wajib bagi orang awam agar ia mengetahui hukum-hukum syariah, lalu berpegang teguh dan mengamalkannya berdasarkan kepercayaan kepada apa yang disampaikan oleh para ulama. Adapun bagi mujtahid, taqlid adalah haram karena ia telah mencapai derajat ijtihad, memenuhi syarat-syaratnya, dan mengetahui dalil-dalilnya. Maka tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid lain karena ia setara dengannya. Mujtahid diperintahkan untuk berijtihad, maka ia harus berusaha dan melaksanakan kewajibannya, jika tidak, ia dianggap lalai dan berdosa.
c. Konsep Dasar Status Hukum Bertaqlid:
Berdasarkan keharaman taqlid bagi seorang mujtahid, yang wajib baginya adalah melakukan penelitian dan pengkajian terhadap dalil-dalil. Dan berdasarkan keharaman taqlid dalam akidah dan pokok-pokok umum agama, terdapat celaan terhadap taqlid dalam memahami nash-nash syariah. Para nabi menyeru untuk meninggalkan taqlid kepada nenek moyang dalam akidah-akidah yang rusak dan mengajak mereka untuk melihat bukti-bukti dan dalil-dalil untuk mencapai kebenaran dan keyakinan dalam iman, akidah, dan agama. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إلا يَخْرُصُونَ (116) [الأنعام: 116]
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)" (Al-An'am: 116). Dalam ayat ini, Allah menetapkan kesesatan bagi kebanyakan manusia jika mereka tidak kembali kepada dalil yang benar untuk meluruskan pandangan mereka.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ [الإسراء: 36]
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya" (Al-Isra: 36).
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [البقرة: 169]
"Dan supaya kamu tidak mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (Al-Baqarah: 169). Ayat ini berisi larangan mengucapkan sesuatu tanpa dasar ilmu, dan larangan demikian hanya disematkan kepada seorang muqallid (orang yang bertaqlid). Allah mencela mereka yang berdalih dengan taqlid dalam akidah, Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) [الزخرف: 23]
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu ajaran, dan sesungguhnya kami akan tetap mengikuti jejak-jejak mereka'" (Az-Zukhruf: 23). Dan Allah juga berfirman:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [البقرة: 111]
"Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (Al-Baqarah: 111).
Allah menganggap muqallid yang meninggalkan pengamatan terhadap alam semesta dan kehidupan untuk membangun akidah mereka setara dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat dari itu. Allah berfirman:
إِنْ هُمْ إلا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا [الفرقان: 44]
"Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya" (Al-Furqan: 44). Allah juga berfirman:
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ [البقرة: 171]
"Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh karena itu) mereka tidak mengerti" (Al-Baqarah: 171). Mereka telah berpaling dari pengkajian dalil-dalil, menjadikan diri mereka seperti hewan yang tidak mampu memahami, seperti makhluk yang tidak mendengar apa yang disampaikan kepadanya.
Al-Qur'an juga mencela logika orang-orang musyrik yang bertaqlid, Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا، بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (170) [البقرة: 170]
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.' Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (Al-Baqarah: 170). Allah juga berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (104) [المائدة: 104]
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul,' mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.' Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?" (Al-Ma'idah: 104).
Berdasarkan prinsip ini, para imam secara tegas melarang taqlid kepada mereka dan memerintahkan para pengikutnya yang mujtahid untuk melakukan penelitian, pengkajian, dan bergantung pada dalil, bukan sekadar taqlid.
d. Alasan-alasan Lemah yang Digunakan oleh Para Pentaklid:
1) Mereka beranggapan bahwa imam yang mereka ikuti pasti telah memahami semua makna dari kitab dan sunnah, dan tidak ada yang terlewatkan.
2) Mereka beranggapan bahwa jika imam tersebut melakukan kesalahan dalam beberapa hukum dan mereka mengikutinya dalam kesalahan tersebut, mereka juga akan mendapatkan maaf dan pahala seperti imam tersebut.
3) Mereka berkata: “Para imam ini lebih berilmu, maka ijtihad mereka lebih utama daripada ijtihad kami.”
Jawaban terhadap alasan-alasan ini – secara berurutan – adalah sebagai berikut:
1) Semua imam mengakui bahwa mereka tidak menguasai semua teks wahyu, dan banyaknya ilmu seorang ulama tidak berarti dia mengetahui semua teks. Imam mungkin mengetahui hadits tetapi sanad yang sampai kepadanya lemah, sehingga dia meninggalkannya. Atau mungkin dia meninggalkan hadits karena sesuatu yang dia anggap lebih kuat, padahal kenyataannya hadits yang ditinggalkannya tersebut lebih kuat. Jadi, anggapan bahwa mereka menguasai semua teks tidaklah benar.
2) Imam yang diikuti oleh pentaklid telah berusaha sebaik mungkin dan melakukan apa yang wajib dilakukannya dalam berijtihad. Oleh karena itu, jika imam tersebut melakukan kesalahan, ia layak mendapatkan maaf karena telah menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
Namun, para pentaklid yang hanya mengikuti pendapat ulama tanpa berusaha memahami kitab dan sunnah serta enggan mempelajarinya, tidak bisa disamakan dengan imam yang berijtihad. Mereka menempatkan ucapan manusia seolah-olah adalah wahyu dari Allah, tanpa melakukan usaha sekemampu yang mereka bisa lakukan dalam memahami atau mengetahui dalil dari sebuah perkara agama.
Perbedaan besar antara imam dan pengikutnya ini menunjukkan bahwa pentaklid tidak mendapatkan pahala dalam kesalahan seperti halnya imam. Orang-orang yang bertaqlid tidak menempuh jalan yang telah dilakukan oleh para ulama mujtahid, yang berusaha keras dalam memahami dan menerapkan dalil-dalil syar'i.
Dengan demikian, pahala yang didapatkan oleh imam dalam kesalahan ijtihadnya tidak bisa disamakan dengan pentaklid yang tidak berusaha menggunakan potensi akalnya untuk memahami agama. Keyakinan dan amalan dalam agama harus didasarkan pada pemahaman yang benar dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran.
3) Para ulama bisa saja sepakat, dan kesepakatan mereka atas suatu hukum adalah hujah, yang merupakan kebenaran yang harus diikuti. Tetapi mereka bisa juga berbeda pendapat, lalu apa hujahnya dalam mengikuti sebagian mereka tanpa mengikuti yang lain, padahal mereka semua adalah ulama? Mungkin saja pendapat yang ditinggalkan berasal dari ulama yang lebih baik penguasaan ilmunya daripada ulama yang pendapatnya diikuti.
Jika seorang berkata: “Saya mengikutinya karena pendapatnya benar,” maka dia diminta bukti dan ini membatalkan taqlidnya. Jika dia berkata: “Saya mengikutinya karena dia adalah orang yang paling berilmu,” maka dikatakan kepadanya: “Apakah dia lebih berilmu daripada para sahabat?” Penjelasan melalui rangkaian pertanyaan ini akan menekankan pentingnya merujuk kepada dalil yang kuat dalam memahami agama. Mengikuti pendapat seseorang hanya karena dianggap paling berilmu tanpa mempertimbangkan dalil yang mendasarinya adalah sebuah kekeliruan.
Berdasarkan rincian sebelumnya menurut mayoritas ulama, taqlid terbagi menjadi dua jenis: taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela.
Taqlid yang Terpuji:
Taqlid dianggap terpuji dalam masalah cabang-cabang amalan (furu’) dan berlaku pada dua kelompok:
Kelompok pertama: Taqlid bagi orang yang tidak mampu berijtihad, yaitu mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Orang seperti ini tidak mampu menyimpulkan hukum syariah dengan usahanya sendiri, sehingga tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti mereka yang ahli dalam penelitian dan ijtihad, agar ia dapat mengetahui kewajiban-kewajibannya.
Kelompok kedua: Taqlid bagi seorang ulama jika ia mengetahui bahwa orang yang diikuti tidak mungkin salah dalam hal yang diikutinya, sehingga ia wajib menerima dan mengikutinya. Ini mencakup empat golongan:
1) Taqlid kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam , berdasarkan pandangan bahwa mengikuti ucapan beliau disebut sebagai taqlid.
2) Taqlid kepada sahabat atau tabiin yang terpercaya serta setiap perawi yang adil dan terpercaya terhadap informasi yang dibawakannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena taqlid kepada mereka adalah mengikuti apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3) Taqlid kepada mereka yang bersepakat (ijma’) dalam suatu hukum, karena mengikuti mereka dalam hal yang telah disepakati adalah wajib.
4) Taqlid kepada sahabat dalam pendapat dan ijtihadnya, berdasarkan salah satu pendapat yang menganggap bahwa pendapat sahabat adalah dalil syariah, yang juga merupakan pendapat mayoritas ulama.
Taqlid yang Tercela atau Haram:
Taqlid yang tercela atau haram mencakup empat jenis:
1) Taqlid yang mengabaikan apa yang telah diturunkan Allah, yang tidak boleh diikuti, seperti taqlid kepada nenek moyang, pemimpin, atau penguasa yang zalim dengan mengabaikan aturan agama.
2) Taqlid yang bertentangan dengan apa yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau ijma’, atau hal-hal yang diketahui secara pasti dalam agama, atau bertentangan dengan pendapat sahabat menurut pandangan yang lebih kuat.
3) Taqlid setelah munculnya bukti yang menunjukkan kesalahan pendapat yang diikuti.
4) Taqlid kepada orang yang diketahui tidak layak untuk diikuti, seperti orang-orang jahil yang bertingkah seperti ulama, ulama yang dekat dengan penguasa dan memberikan fatwa sesuai keinginan mereka.
Empat jenis taqlid ini adalah yang dikecam dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta merupakan dasar dari semua celaan terhadap taqlid yang disampaikan oleh para ulama, yang banyak dijelaskan oleh para imam empat mazhab. Mereka juga melarang taqlid kepada mereka tanpa dalil dan bukti. Diriwayatkan bahwa Imam Malik, rahimahullah, berkata,
أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي، فما وافق الكتاب والسنة فخذوا به، وما لم يوافقه فاتركوه.
"Saya hanya manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka periksalah pendapat saya. Apa yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, ambillah, dan apa yang tidak sesuai, tinggalkanlah." Imam Syafi'i, rahimahullah, berkata,
مثل الذي يطلب العلم بلا حجة كمثل حاطب ليل يحمل حزمة حطب، وفيها أفعى تلدغه ولا يدري
"Orang yang mencari ilmu tanpa dalil ibarat seorang pencari kayu bakar di malam hari yang membawa seikat kayu, tetapi di dalamnya ada ular yang akan menggigitnya, dan dia tidak menyadarinya." Dari Imam Syafi'i juga, yang diriwayatkan oleh Al-Muzani dalam (Muqaddimah Mukhtasharnya) bahwa beliau selalu melarang taqlid kepada dirinya dan orang lain. Imam Ahmad, rahimahullah, berkata,
لا تقلدني، ولا تقلد مالكًا، ولا الثوري، ولا الأوزاعي، وخذ من حيث أخذوا
"Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, atau kepada Malik, atau Ats-Tsauri, atau Al-Auza'i. Ambillah dari mana mereka mengambil." Beliau juga berkata,
من قلة فقه الرجل أن يقلد دينه الرجال
"Diantara indikator kurangnya pemahaman seorang adalah ketika ia menjadikan agamanya bergantung pada pendapat orang lain." Abu Yusuf rahimahullah berkata,
لا يحل لأحد أن يقول مقالتنا حتى يعلم من أين قلناه
"Tidak halal bagi siapa pun untuk berkata dengan pendapat kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambilnya."
Iman seorang muqallid dianggap sah, dan tidak disyaratkan adanya penelaahan atau Istidlal. Dalam konteks kewajiban iman kepada Allah, pandangan yang benar adalah bahwa iman seorang muqallid (orang yang bertaqlid kepada ulama) dianggap sah, dan tidak disyaratkan adanya penelaahan atau istidlal (pengambilan dalil) dalam iman. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa para sahabat, radhiyallahu 'anhum, ketika mereka menaklukkan negeri-negeri, mereka menerima keimanan orang-orang non-Arab, orang-orang Badui, dan orang-orang awam, meskipun iman mereka datang di bawah paksaan pedang atau karena mengikuti pemimpin mereka yang masuk Islam. Para sahabat tidak pernah memerintahkan mereka untuk melakukan penelaahan ulang, tidak juga menanyakan dalil atas keimanan mereka, dan tidak menunda penerimaan iman mereka sampai mereka melakukan penelaahan.
Setiap orang diwajibkan untuk beriman secara umum dan global terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan untuk mengetahui rincian iman secara mendetail adalah fardhu kifayah bagi kaum Muslimin. Kewajiban untuk mengetahui rincian ini berbeda-beda tergantung pada kemampuan, kebutuhan, dan pengetahuan individu serta apa yang diperintahkan kepada mereka. Tidak diwajibkan bagi seseorang yang tidak mampu mendengar sebagian dari ilmu atau memahami detailnya untuk mengetahui apa yang diwajibkan bagi orang yang mampu melakukannya. Intinya bahwa kewajiban ini bersyarat pada kemampuan dan kesanggupan seseorang. Ibnu Abi Al ‘Izz, Pensyarah Kitab Al Aqidah Ath-Thahawiyyah menyatakan:
وَلِهَذَا كَانَ الصَّحِيحُ أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ شِهَادَةُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَا النَّظَرُ، وَلَا الْقَصْدُ إِلَى النَّظَرِ، وَلَا الشَّكُّ، كَمَا هِيَ أَقْوَالٌ لِأَرْبَابِ الْكَلَامِ الْمَذْمُومِ. بَلْ أَئِمَّةُ السَّلَفِ كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْعَبْدُ الشَّهَادَتَانِ، وَمُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ الْبُلُوغِ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَجْدِيدِ ذَلِكَ عَقِيبَ بُلُوغِهِ، بَلْ يُؤْمَرُ بِالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ أَوْ مَيَّزَ عِنْدَ مَنْ يَرَى ذَلِكَ.
“Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf adalah mengucapkan syahadat ‘La ilaha illallah’, bukan melakukan penelaahan, tidak juga berniat untuk menelaah, atau meragukan, seperti yang menjadi pendapat sebagian ahli kalam yang tercela. Bahkan, para imam salaf semuanya sepakat bahwa kewajiban pertama bagi seorang hamba adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mereka juga sepakat bahwa barang siapa yang melakukannya sebelum baligh, maka ia tidak diperintahkan untuk memperbaruinya setelah mencapai baligh. Ia hanya diperintahkan untuk bersuci dan shalat ketika mencapai usia baligh atau tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk), sesuai dengan pandangan mereka yang berpendapat demikian.” (Ibn-Abil’izz, 1990)