Tabarruk yang Disyariatkan dan Tabarruk yang Dilarang
Masalah "Tabarruk" (mencari keberkahan) merupakan salah satu isu akidah yang paling penting dan memerlukan kejelasan. Hal ini karena masalah Tabarruk sangat menentukan keselamatan akidah seseorang atau berpotensi besar akan menjerumuskannya ke dalam sikap berlebihan (ghuluw), bid’ah dan atau syirik.
Berkah (Barakah) adalah kebaikan ilahi yang ditetapkan dalam sesuatu. Untuk mengatur masalah ini, kita harus bertolak dari beberapa poin berikut:
Orang yang bertabarruk meyakini bahwa berkah telah ditetapkan di dalam objek yang dijadikan tempat mencari berkah (Mutabarrak bih). Ini tidak mungkin terjadi kecuali dari Allah. Ia juga meyakini bahwa berkah berpindah dari objek tersebut kepada dirinya.
Oleh karena itu, perbuatan ini adalah ibadah. Layaknya ibadah lainnya, cara pelaksanaannya haruslah dijelaskan melalui dalil syariat (hukum agama).
Intinya: Tabarruk adalah perkara tawqifi. Setiap ibadah atau cara mendekatkan diri kepada Allah haruslah ditetapkan dengan dalil.
Sebagaimana tidak boleh membuat-buat cara salat atau puasa yang tidak ada dalilnya, tidak boleh pula menciptakan cara Tabarruk yang tidak ditetapkan secara syariat.
Standarnya: Segala sesuatu yang tidak ditetapkan melalui dalil syariat sebagai sesuatu yang diberkahi, maka Tabarruk dengannya dilarang.
Ini adalah langkah preventif (saddan li-dhari'ah) untuk menutup jalan menuju sikap berlebihan (ghuluw) yang dapat menjerumuskan kepada syirik (menyekutukan Allah).
Contoh Kisah Penting (Dzat Anwath):
Para Sahabat pernah meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadikan bagi mereka sebuah pohon bernama Dzāt Anwāṭ—tempat orang-orang kafir bertabarruk dengan beriktikaf dan menggantungkan senjata mereka— sebagaimana yang dimiliki kaum kafir.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengingkari permintaan mereka dan menyamakan perkataan mereka dengan perkataan kaum Musa yang meminta:
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ
“(Jadikanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan".
Ini menunjukkan bahwa meminta Tabarruk dengan selain apa yang disyariatkan Allah dapat mengantarkan pada perbuatan syirik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengaitkan penolakan itu dengan peringatan dari kebodohan (jahl), yang menegaskan bahwa Tabarruk tidak didasarkan pada kebiasaan atau adat, tetapi harus memiliki dasar syariat (ilmu).
Tabarruk yang disyariatkan adalah segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat dan dinyatakan keberkahannya dengan tegas. Keberkahan yang lekat pada sesuatu ini terbagi menjadi tiga kategori utama:
Tabarruk dengan bagian dari dzat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti rambut, air liur, air wudu, atau keringat beliau) adalah hal yang disyariatkan, tetapi hanya khusus bagi beliau seorang.
Alasan Kekhususan: Para Sahabat, yang paling bersemangat dalam kebaikan, tidak pernah diriwayatkan bertabarruk dengan peninggalan atau anggota badan para Khalifah Rasyidin atau Sahabat besar lainnya.
Konsensus praktis ini menunjukkan bahwa mereka memahami bahwa Tabarruk ini adalah pintu khusus bagi Nabi dan tidak boleh dianalogikan dengan orang-orang saleh lainnya.
Ini adalah waktu dan tempat yang terdapat dalil syariat yang jelas menyatakan keberkahannya, seperti:
Waktu: Bulan Ramadan, Malam Lailatulqadar, Sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah.
Tempat: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Al-Aqsa.
Contoh Penerapan: Mencium Hajar Aswad
Mencium Hajar Aswad adalah semata-mata perbuatan ibadah dan mengikuti sunah, bukan karena Hajar Aswad itu sendiri diyakini memberikan berkah. Hal ini diperkuat oleh perkataan Umar bin Khattab rhadiyallahu ‘anhu: "Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak dapat memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu".
C. Keberkahan pada Amalan Saleh (Barakah Sababiyyah)
Ini adalah berkah yang menjadi buah dari amal saleh, seperti:
Berbakti kepada Orang Tua (Birrul Walidain): Allah menjadikannya sebagai sebab dilapangkannya rezeki dan dipanjangkannya umur.
Doa Orang Tua: Doa mereka terbukti termasuk doa yang mustajab (dikabulkan).
Ini adalah segala bentuk Tabarruk yang tidak didukung oleh dalil syariat, meliputi:
Tabarruk dengan Dzat atau Peninggalan Selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Tabarruk dengan ulama, wali, orang-orang saleh, atau mengusap-usap makam, pakaian, atau peninggalan mereka.
Hal ini dilarang berdasarkan konsensus praktis (ijma' amali) Sahabat dan dianggap sebagai bid'ah yang menjerumuskan kepada syirik dan ghuluw.
Tabarruk dengan Tempat yang Tidak Dinaskan: Seperti mengusap-usap tiang masjid, dinding makam, atau mengkhususkan tempat selain Ka'bah untuk Tabarruk.
Perlu dibedakan antara "Tabarruk yang Dilarang" dan "Penghormatan (Ihtiram) dan Pengagungan (Tawqir) yang Disyariatkan".
Untuk menghindari sikap berlebihan yang dapat mengarah pada syirik, para ulama menetapkan syarat-syarat untuk dibolehkannya mencium tangan atau kaki (untuk penghormatan):
Dilakukan untuk kedua orang tua atau ahli ilmu.
Dilakukan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah (bukan karena kekayaan atau kedudukan duniawi). Jika dilakukan karena duniawi, hukumnya makruh bahkan ada yang mengharamkan.
Dilakukan jarang-jarang (tidak menjadi kebiasaan) setiap kali bertemu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan berjabat tangan (mushāfaḥah) pada pertemuan biasa.
Orang yang dicium tidak berupaya agar orang lain mencium tangannya (tidak menyodorkan tangan meminta dicium). Ini adalah hal yang tidak disukai.
Kesimpulan
Meminta keberkahan (barakah) hanya boleh dari Allah Ta'ala. Sarana untuk meraihnya hanya ditentukan oleh syariat itu sendiri.
Seorang mukmin berhenti pada batas yang ditetapkan syariat:
Ia beribadah kepada Allah dengan mencari berkah pada apa yang disyariatkan-Nya.
Ia menghindari sikap berlebihan (ghuluw) pada apa yang tidak disyariatkan-Nya.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Walid bin Rasyid As-Sa'idan:
Asal dalam Tabarruk adalah Tawqif (mengikuti dalil), bukan Takhriyf (penciptaan).
Demikianlah berlaku pada dzat, zaman, dan tempat, tanpa ada keraguan, wahai saudaraku yang berilmu.
Dalam penjelasannya, Syaikh berkata:
Yang memiliki otoritas dalam menentukan adanya keberkahan pada sesuatu adalah Allah sendiri-Nya.
Menentukan adanya keberkahan pada benda, waktu dan tempat harus didasari pada dalil.
Keberkahan itu ada dua jenis, yaitu: keberkahan dzatiyyah yang dapat berpindah, dan keberkahan ma’nawiyyah yang hanya lekat pada sesuatu dan tidak berpindah (laazimah)
Wallahu a’lam bis shawaab