Isu mengenai keadilan Tuhan (Allah) sering kali menjadi titik perdebatan, terutama ketika dihadapkan pada konsep takdir (qada' dan qadar) versus tanggung jawab (ikhtiyar) manusia. Narasi yang salah sering muncul: jika segala sesuatu diciptakan oleh Allah, bagaimana mungkin Allah adil dalam menetapkan hukuman?
Konsep berfikir dalam Islam memberikan sebuah logika yang mencerahkan, berakar pada sinergi antara kehendak mutlak Ilahi dan peran aktif hamba-Nya melalui amal-amal individu mereka masing-masing.
Kerangka pemikiran ini berfokus pada diferensiasi antara Penciptaan Khaliq (Allah) dan Perbuatan hamba (amal).
1. Kasus Ketaatan (Shalat)
a. Penciptaan: Allah-lah yang menciptakan ibadah shalat (sebagai perintah).
b. Perbuatan: Manusia yang memilih untuk bangun, berwudu, dan melaksanakan shalat.
c. Keadilan: Ketika Allah memberi pahala, hal itu adalah adil. Mengapa? Karena pahala diberikan atas pilihan, usaha, dan ketekunan manusia dalam merealisasikan perintah tersebut (amal). Upaya yang dilakukan manusia adalah variabel penentu yang dihargai oleh Sang Pencipta.
2. Kasus Kelalaian (Malas)
a. Penciptaan: Allah menciptakan berbagai potensi dalam jiwa manusia, termasuk kecenderungan untuk malas.
b. Perbuatan: Manusia yang memilih untuk menyerah pada kemalasan, mengabaikan kewajiban, dan meninggalkan shalat.
c. Keadilan: Ketika Allah menghukum, hal itu juga adil. Hukuman tidak didasarkan pada keberadaan potensi malas yang diciptakan Allah, melainkan pada pilihan manusia untuk mengikuti potensi negatif tersebut hingga berujung pada pelanggaran dan dosa.
Intinya, penghargaan (pahala) dan hukuman (siksa) senantiasa melekat pada tindakan atau perbuatan (amal) yang lahir dari kehendak bebas (ikhtiyar) manusia. Keadilan Tuhan (Allah) terwujud dalam memastikan bahwa hasil (pahala/siksa) sesuai dengan usaha dan pilihan yang telah dilakukan oleh hamba-Nya.
Penjelasan ini diperkuat secara fundamental oleh firman Allah Ta'ala:
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat." (QS. As-Saffat [37]: 96)
Ayat ini adalah kunci integrasi teologis:
1. Kedaulatan Mutlak: Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk esensi manusia dan proses perbuatan (amal) itu sendiri. Ini menjaga konsep Tauhid Rububiyyah (keesaan Allah dalam menciptakan dan mengatur).
2. Tanggung Jawab Aktif: Meskipun Allah menciptakan potensi dan proses perbuatan, mazhab Ahlusunah wal Jama'ah menjelaskan bahwa manusia memiliki peran kasb (usaha/akuisi) atau ikhtiyar (pilihan). Manusia adalah subjek aktif yang memilih, berusaha, dan mengarahkan potensi yang telah diciptakan Allah.
Oleh karena itu, tidak ada kontradiksi dalam penetapan hukum:
1. Allah menciptakan potensi dan perbuatan, sehingga kekuasaan-Nya sempurna.
2. Allah memberikan petunjuk ke jalan yang terbaik melalui wahyu.
3. Manusia memilih dan mengupayakan perbuatan, sehingga pertanggungjawabannya mutlak.
Keadilan Ilahi terwujud dalam sistem ini, di mana Manusia diberikan akal, petunjuk (wahyu), dan pilihan (kehendak bebas), sehingga setiap hasil—baik itu kenikmatan abadi atau hukuman—adalah konsekuensi logis dan adil dari amal perbuatan yang ia pilih untuk lakukan selama hidupnya.
Ini adalah pemahaman yang mencerahkan: Takdir tidak meniadakan usaha, dan Kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Keadilan-Nya berdiri tegak di atas prinsip pertanggungjawaban diri.
Wallahu a'lam bis shawaab