Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) adalah topik agung dan fundamental dalam Islam yang mendapat perhatian serius dari para ulama salaf. Pentingnya terlihat dari banyaknya penyebutan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, menunjukkan bahwa ini adalah masalah syar'i (berdasarkan syariat) dan otentik yang sangat penting untuk dikaji.
Secara Bahasa: Tazkiyah berasal dari kata zakkā yuzakkī tazkiyatan, yang berarti pertumbuhan dan penambahan (an-nama’ wa az-ziyādah). Inilah mengapa zakat dinamakan zakat, karena ia menambah keberkahan dan pertumbuhan harta. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أنَّه ما نقص مال عبدٍ من صدقة
"Tidaklah harta seorang hamba berkurang karena sedekah."
Secara Syar'i: Tazkiyah adalah kebaikan dan keberkahan yang diperoleh jiwa seorang mukmin karena perhatiannya terhadap aspek penyucian diri dan upaya yang dilakukannya untuk penyucian tersebut.
Tujuannya adalah penyucian hati dan diri yang memengaruhi anggota tubuh. Allah menjanjikan keberuntungan bagi yang menyucikannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
"Sungguh beruntung orang yang Allah menyucikan jiwanya." (QS. Asy-Syams: 9).
Tazkiyah terbagi menjadi dua jenis:
a. Jenis Tercela (Muharram/Madhmūm): Memuji dan menyanjung diri sendiri. Ini adalah jenis yang dilarang, sebagaimana firman Nya di dalam (QS. An-Najm: 32),
ﵟفَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓﵞ
“Maka janganlah kalian menyanjung, memuji-muji dan menyucikan diri kalian sendiri. Dialah Yang Maha Tahu orang-orang yang bertakwa.”
b. Jenis Terpuji (Masyrū’/Mamduh): Menyucikan jiwa dengan amal saleh, yaitu dengan ketaatan kepada Allah dalam bentuk keyakinan (i'tiqād), ucapan (qawl), dan perbuatan ('amal).
Penyucian jiwa terbagi menjadi dua tingkatan utama:
a. Tingkatan Pertama: Menyucikan Jiwa dengan Melakukan Perintah (Fīl al Masyrū’):
Tingkat ini dicapai dengan menunaikan amal-amal keimanan yang berkaitan dengan hati, ucapan, dan perbuatan.
1) Tazkiyah Hati: Dengan merealisasikan amalan hati seperti cinta, takut, harap, tawakal, ikhlas, pengagungan kepada Allah, dan pengagungan syariat.
Hati adalah pusat kendali seluruh perilaku hamba. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh itu terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."
2) Tazkiyah Perbuatan (Anggota Tubuh): Dengan melaksanakan ibadah fisik seperti salat, zakat, puasa, haji, dan amar makruf nahi mungkar yang berkaitan dengan anggota tubuh.
3) Tazkiyah Ucapan (Lisan): Dengan membaca Al-Qur'an, berzikir, dan amar makruf yang berkaitan dengan lisan.
Tingkatan pertama ini dibagi menjadi dua aspek hukum:
1) Wajib: Jika dilakukan, terwujudlah keimanan wajib.
2) Mustahab (Sunnah): Jika dilakukan, terwujudlah keimanan mustahab, yang merupakan derajat tinggi. Orang yang mencapai keimanan wajib dan meninggalkan perkara haram adalah Al-Abrār (golongan kanan). Sedangkan yang selain berhasil sampai pada capaian Al-Abrār dan juga mencapai keimanan mustahab, maka mereka itulah As-Sābiqūn al-Muqarrabūn (orang-orang yang mendahului dan didekatkan kepada Allah).
b. Tingkatan Kedua: Menyucikan Jiwa dengan Meninggalkan Larangan (Tark al-Mahẓūr):
Dicapai dengan menjauhi semua hal yang diharamkan, maksiat, dan dosa, baik besar maupun kecil.
Perbandingan Dua Tingkatan:
Para ulama menyebut meninggalkan larangan sebagai "Al-Takhliyah" (pengosongan diri dari keburukan), dan melakukan perintah sebagai "Al-Taḥliyah" (menghiasi diri dengan kebaikan).
Meskipun ulama berpendapat bahwa melaksanakan perintah (fīl al-masyrū’) lebih besar manfaatnya dan lebih besar pahalanya di sisi Allah karena adanya kesulitan dan peningkatan amal, namun meninggalkan larangan (tark al-mahẓūr) lebih ditekankan (diperketat) oleh syariat. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah. Dan jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka laksanakanlah semampu kalian.". Meninggalkan larangan tidak dikaitkan dengan kemampuan (istiṭā'ah) karena ia dianggap mudah (sekadar meninggalkan), sedangkan melakukan perintah dikaitkan dengan kemampuan karena adanya tingkat kesulitan tertentu yang tidak semua orang mampu melakukannya.
Meskipun Tazkiyah adalah perbuatan hamba (berdasarkan pendapat yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam menafsirkan QS. Asy-Syams: 9 dan QS. Al-A'la: 14), hamba tidak boleh melupakan bahwa penyucian jiwa sejatinya adalah taufik (pertolongan) dari Allah. Allah berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
"...Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki..." (QS. An-Nūr: 21).
Seorang hamba harus merasa membutuhkan Allah di setiap saat. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan doa:
«اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا» - «صحيح مسلم» (8/ 81)
"Ya Allah, berilah jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia. Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya."
Taufik Allah memiliki sebab dari hamba: ketika hamba berupaya dan membenarkan pahala yang disiapkan Allah, maka Allah akan memberinya taufik dan petunjuk tambahan. Khidzlān (penelantaran) adalah ketika Allah menyerahkan hamba kepada dirinya sendiri, sedangkan taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan hamba kepada dirinya.
Tazkiyatun Nafs dapat terwujud melalui beberapa sebab yang harus diupayakan oleh hamba:
a. Tawakal dan Doa: Merupakan tahap awal, yaitu merendahkan diri kepada Allah agar Dia menyucikan jiwa dan membimbingnya.
b. Fakih dalam Agama: Ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang syariat adalah dasar tazkiyah, karena ketaatan hanya dapat diwujudkan dengan syariat, dan syariat hanya dapat direalisasikan dengan ilmu. Keutamaan amal bergantung pada dua hal: Ikhlas kepada Allah dalam niat dan mutāba’ah (mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam amal.
c. Mengetahui Dampak Dosa pada Diri: Seorang hamba harus memiliki pengetahuan tentang dosa, sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman, serta cara penanganannya, layaknya seorang dokter yang mengetahui penyakit dan pengobatannya.
1) Mengaitkan dosa yang terjadi kepada takdir Allah dan merasa terpaksa (Jabr), yang menyerupai sikap kaum musyrikin (QS. Al-An'am: 148)42. Ini adalah sikap kelompok Jabariyyah. Berbeda dengan Adam alaihi as-salām yang mengakui dosanya dan memohon ampunan.
2) Menyadari dosanya, tetapi tidak bertobat, baik karena putus asa (al-Qunūṭ) dari rahmat Allah (sikap Wa'īdiyyah) atau karena harapan palsu (al-Rajā’ al-Kādhib) dengan terus berbuat dosa dan merasa Allah Maha Pengampun (sikap Murji'ah).
3) Berbuat dosa, menyadari itu adalah kesalahannya, kemudian bertobat dan beristighfar. Ini adalah tingkatan yang wajib.
4) Berbuat dosa, bertobat, dan kemudian mencari hikmah Allah dalam takdir dosa itu, menyadari bahwa dosa tersebut terjadi karena dosa lain yang pernah dilakukan. Ini adalah martabat para ulama yang mengamalkan ilmunya, yang berusaha menghindari akar penyebab dosa.
5) Pencegahan Dosa dan Mengetahui Penebusnya (Mukaffirāt): Mengetahui cara mencegah dosa (dengan menghindari sebab-sebabnya dan menutup pintu keburukan/ sadd al-dharā’i') dan mengetahui cara menebusnya setelah terjadi (dengan mengikuti keburukan dengan kebaikan).
Ibnu Al-Qayyim menjelaskan tahapan godaan setan: al-Khaṭirah (lintasan pikiran), Waswasah (bisikan), Syahwah (godaan), Irādah (kehendak) dan’Azīmah (tekad bulat), yang jika sudah mencapai tahap terakhir, sulit dicegah dan pasti berujung pada perbuatan.
6) Bersyukur atas Taufik Ketaatan: Ketika berhasil melakukan ketaatan, seorang hamba harus memuji Allah atas taufik itu.
Manfaatnya: Menunaikan syukur merupakan pengikat dan penambah nikmat, serta menumbuhkan kerendahan diri, ketundukan, dan mematahkan sifat ’Ujb (membanggakan diri). Seorang salaf, Muṭarrif bin 'Abdillah asy-Syikhkhīr, berkata:
لأن أبيت نائمًا وأصبح نادمًا أحب إليَّ من أن أبيت قائمًا وأصبح مُعجبًا
"Sungguh aku tidur semalaman dan bangun dalam keadaan menyesal lebih aku cintai daripada aku salat malam semalaman dan bangun dalam keadaan membanggakan diri (mu’jib).".
7) Menyibukkan Diri dengan Amal Terbaik: Beribadah sesuai dengan kondisi, tempat, dan waktu terbaik. Ibadah yang paling bermanfaat bagi orang lain (seperti dakwah, menuntut ilmu, atau menolong orang miskin di masa kesulitan) adalah lebih utama daripada ibadah yang kemanfaatannya terbatas pada diri sendiri.
Setan sering menipu manusia dengan menyibukkan mereka dengan amalan yang kurang utama (mafḍūl/marjūḥ) dari amalan yang lebih utama (fāḍil/rājih), atau dengan amalan yang dicintai Allah dari amalan yang lebih dicintai (al-Aḥabb).
Tazkiyatun Nafs adalah topik agung yang luas. Realisasinya adalah dengan taufik dari Allah yang dijemput oleh hamba melalui berbagai sebab, utamanya adalah melakukan perintah wajib (fīl al-wājibāt) dan meninggalkan larangan (tark al-manhiyyāt).
(1) Diringkas dari kitab, ‘Tazkiyatun Nafsi, Mafhuumuha wa Maraatibuha wa Asbaabuha’, karya Dr. Ibrahim bin 'Amir Ar-Ruhaili , yang merupakan Guru Besar di Departemen Akidah, Universitas Islam Madinah.