Islam adalah agama yang diwahyukan dengan perintah pertama "Iqra" (Bacalah), sebuah perintah yang tidak hanya menuntut literasi, tetapi juga pemahaman mendalam, kontekstual, dan komprehensif. Kegagalan dalam membaca teks agama secara utuh dan menyeluruh sering kali memunculkan kesalahpahaman fatal yang tidak hanya merugikan umat, tetapi juga memberi kesan negatif, kaku, bahkan jumud (statis/tertutup) terhadap ajaran Islam dan para pegiatnya.
Diskusi mengenai isu "wanita adalah fitnah" adalah satu dari beberapa contohnya. Jika dipahami secara parsial, ungkapan ini seolah menempatkan perempuan sebagai sumber kejahatan mutlak. Namun, ketika dibaca secara komprehensif, makna yang muncul adalah makna yang adil, universal, dan menuntut tanggung jawab kolektif.
Kesalahpahaman muncul karena penyempitan makna kata fitnah. Dalam konteks modern, fitnah sering diartikan sebagai tuduhan tak berdasar atau gosip. Namun, dalam Al-Qur'an dan Hadis, fitnah secara fundamental berarti ujian, cobaan, atau sesuatu yang menguji keimanan seseorang.
Teks Universal: Al-Qur'an menegaskan bahwa seluruh elemen kehidupan adalah ujian (fitnah): harta, anak, kesenangan, bahkan kesusahan (QS. Al-Anbiya': 35, QS. At-Taghabun: 15).
Implikasi yang Adil: Jika segala sesuatu adalah ujian, maka keberadaan wanita sebagai ujian bagi laki-laki tidak berarti wanita itu buruk, sama halnya dengan harta yang melimpah tidak berarti ia buruk. Yang diuji adalah respons dan kendali diri subjek (laki-laki) terhadap objek ujian (wanita).
Prinsip Resiprositas (Mubadalah): Dengan logika yang sama, kita wajib menyatakan bahwa laki-laki juga merupakan ujian terbesar (fitnah) bagi perempuan. Hal ini diperkuat oleh ayat yang menyatakan, "Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan (fitnah) bagi sebagian yang lain." (QS. Al-Furqan: 20).
Pembacaan komprehensif ini mengubah narasi: dari menyalahkan perempuan menjadi seruan bagi laki-laki untuk menjaga hati dan pandangan, serta bagi kedua pihak untuk saling menjaga kehormatan.
Konsekuensi dari pembacaan parsial adalah praktik keagamaan yang berlebihan (ghuluw) dan kaku (jumud). Misalnya, sikap menundukkan pandangan (Ghadul Bashar) yang dilakukan secara ekstrem, seperti menolak melihat wajah lawan bicara, bahkan ketika bercadar, atau dalam konteks pekerjaan yang sah.
Argumen Fikih yang Komprehensif: Perintah Ghadul Bashar (menundukkan pandangan bagi laki-laki) justru dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa wanita tidak wajib bercadar. Sebab, jika wajah wajib ditutup, perintah menundukkan pandangan akan menjadi kurang relevan. Pertahanan pertama ada pada kendali diri laki-laki, karena wajah wanita memang dibolehkan nampak untuk kebutuhan interaksi dan identifikasi.
Kecerdasan Interaksi: Islam tidak melarang interaksi profesional (belajar, berdagang, bermasyarakat). Menyikapi interaksi yang dibolehkan dengan kekakuan berlebihan justru dapat menghambat komunikasi, menciptakan kecanggungan, dan pada akhirnya menghambat dakwah dan citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) dan adaptif.
Sikap yang bijak adalah: menundukkan pandangan dari syahwat dan tatapan berlama-lama, bukan dari interaksi fungsional yang diperlukan.
Untuk menghindari kesan jumud dan kesalahpahaman, umat Islam, khususnya para dai dan pegiatnya, wajib kembali kepada metodologi pembacaan teks yang komprehensif;
Integrasikan Teks: Mengumpulkan, membaca dan mempelajari seluruh dalil-dalil agama dalam sebuah masalah.
Pahami Konteks: Cari tahu hal atau kondisi yang melatarbelakangi sebuah masalah yang disebutkan dalam dalil agama.
Utamakan Tujuan Universal (Maqashid Syariah): Tempatkan nilai keadilan, kemaslahatan, dan kemudahan di atas interpretasi yang kaku.
Dengan pendekatan ini, Islam akan tampil sebagai agama yang tidak hanya benar secara doktrin, tetapi juga relevan, adil, dan bijaksana dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kesan jumud akan terhapus, digantikan oleh citra kebijaksanaan dan kedewasaan dalam beragama.