Pendahuluan: Siapakah Al-Albani?
Dalam dunia studi Islam modern, terutama di bidang hadits, nama "Al-Albani" telah menjadi sebuah tolok ukur. Sangat umum kita membaca sebuah tulisan yang mengutip hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diikuti dengan keterangan seperti "dishahihkan oleh Al-Albani" untuk meyakinkan pembaca akan kebenarannya, atau "didhaifkan oleh Al-Albani" untuk menganjurkan agar kita tidak menggunakannya sebagai landasan. Pengaruhnya begitu besar hingga namanya seolah menjadi stempel validasi.
Ulasan ini akan menyajikan perjalanan hidup Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, kisah seorang tukang reparasi jam yang bertransformasi menjadi salah satu ahli hadits paling berpengaruh di abad ke-20, lengkap dengan berbagai peristiwa penting, tantangan, dan warisan yang membentuknya.
Perjalanan Syekh Al-Albani rahimahullah dimulai di Shkodër, Albania, sebuah kota kecil tempat ia dilahirkan. Ia tumbuh dalam keluarga yang religius. Ayahnya, seorang alim dalam fikih Mazhab Hanafi, mendidiknya secara langsung dalam ilmu-ilmu dasar seperti fikih dan bahasa Arab sejak usia dini.
Titik balik pertama dalam hidupnya terjadi ketika ia berusia sekitar delapan tahun. Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama, sang ayah mengambil keputusan besar untuk membawa seluruh keluarganya—termasuk Syekh Al-Albani muda, kelima saudara laki-lakinya, dan satu-satunya saudara perempuannya—untuk berhijrah ke Damaskus, Suriah. Di kota inilah, di antara deru kehidupan Damaskus, takdirnya sebagai seorang tukang jam akan berbelok tajam ke jalan yang sama sekali tidak direstui sang ayah: jalan para ahli hadits.
Di Damaskus, kehidupan tidak berjalan mudah. Syekh Al-Albani rahimahullah sempat mencoba profesi sebagai tukang kayu, namun tidak berhasil. Akhirnya, ia mengikuti jejak ayahnya dan menekuni profesi sebagai tukang reparasi jam, sebuah keahlian yang ia jalani selama bertahun-tahun.
Momen transformatif dalam hidupnya datang secara tak terduga. Suatu hari, ia menemukan sebuah majalah bernama Al-Manar yang diasuh oleh ulama besar, Muhammad Rashid Rida. Majalah inilah yang menumbuhkan kecintaannya pada ilmu hadits. Namun, minat barunya ini mendapat tantangan besar dari ayahnya sendiri, yang mencoba menghalanginya sambil berkata bahwa studi hadits adalah "pekerjaan orang-orang yang bangkrut".
Meski begitu, tekad Syekh Al-Albani sudah bulat. Seakan takdir telah membukakan jalan, kunci masa depannya sebagai seorang ulama ternyata terletak hanya beberapa langkah dari meja kerjanya: Maktabah Azh-Zhahiriyah. Perpustakaan inilah yang menjadi rumah keduanya. Ia menghabiskan waktu tiga jam sehari untuk memperbaiki jam, dan sisa waktunya ia habiskan untuk menelaah manuskrip-manuskrip hadits di perpustakaan tersebut. Bisa dikatakan, perpustakaan inilah "pabrik" yang membentuknya menjadi ahli hadits terpenting abad ke-20. Dari sinilah, perjalanannya sebagai seorang sarjana sekaligus pendakwah dimulai.
Dari hasil penelitiannya yang mendalam, Syekh Al-Albani melahirkan karya monumental pertamanya, yaitu kitab Tahdzir as-Sajid min Ittikhadzi al-Qubur Masajid (Peringatan bagi Orang yang Bersujud dari Menjadikan Kuburan sebagai Masjid). Judul ini dengan jelas merefleksikan pemikirannya yang Salafi, yang menekankan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggapnya tidak sesuai dengan sunnah.
Pengaruhnya dengan cepat menyebar ke seluruh Suriah. Ia aktif berdakwah dan mengajar, hingga memiliki banyak murid di berbagai kota, di antaranya: Damaskus, Hama, Homs, Salamiyah, Aleppo, Raqqa, dan Al-Hasakah.
Aktivitas dakwahnya yang lugas dan tanpa kompromi membuatnya sering berhadapan dengan pihak berwenang. Ia berulang kali dipanggil oleh intelijen, dilarang bepergian ke luar Damaskus, dan bahkan jumlah tamu yang boleh mengunjunginya di rumah pun dibatasi. Namun, ia tidak menyerah. Untuk mengakali pembatasan ini, ia beradaptasi dengan menyampaikan ceramah dan pengajian melalui telepon dan kaset rekaman. Tekanan yang semakin berat ini pada akhirnya mendorong Syekh Al-Albani untuk memulai babak baru dalam hidupnya di negeri lain.
Pada tahun 1980, di usianya yang sudah menginjak pertengahan 60-an, Syekh Al-Albani memutuskan untuk berhijrah ke Yordania. Namun, babak baru ini juga dipenuhi dengan berbagai ujian yang tidak ringan. Di medan intelektual, ia terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.
Di ranah personal, ia menghadapi krisis yang lebih mendalam. Istrinya, yang terbiasa dengan kehidupan mewah, tidak bisa menerima kehidupan sederhana di Yordania. Ia melarikan diri kembali ke Damaskus, membawa serta putri mereka, Hibatullah, dan juga paspor sang Syekh. Penderitaannya memuncak ketika sang istri mengancam akan membuang harta paling berharganya—kitab-kitabnya—ke jalanan. Dengan susah payah, dibantu oleh murid-murid dan sahabat-sahabatnya, perpustakaan pribadinya dipindahkan dari Damaskus, kantong demi kantong, sebelum akhirnya bisa diangkut dengan sebuah truk besar. Setelah perceraian yang pahit ini, ia kemudian menikah dengan Umm al-Fadl, yang setia mendampinginya hingga akhir hayat.
Puncak ujiannya terjadi ketika ia diusir dari Yordania dan dikembalikan ke Suriah. Dari sana, ia berkelana ke Beirut, Uni Emirat Arab, hingga Qatar. Namun, sebuah peristiwa politik besar tak terduga menjadi jalan kembalinya. Raja Hussein dari Yordania saat itu khawatir dengan meningkatnya pengaruh Revolusi Iran di tengah masyarakatnya. Ia mengadakan sebuah pertemuan dengan para tokoh untuk mencari cara "meredakan gejolak di tengah rakyat". Salah satu yang diundang adalah sahabat Al-Albani, Muhammad Shaqra. Di akhir pertemuan, Muhammad Shaqra memanfaatkan kesempatan itu untuk berbicara langsung kepada Raja tentang kasus pengusiran Al-Albani. Tanggapan Raja datang seketika, dan Syekh Al-Albani pun diizinkan kembali ke Yordania untuk melanjutkan perjuangannya.
Warisan terbesar Syekh Al-Albani bagi dunia Islam adalah dedikasinya dalam meneliti kembali kitab-kitab hadits induk. Pekerjaan utamanya adalah memilah dan memisahkan antara hadits yang shahih (otentik) dari yang dhaif (lemah). Selain itu, ia juga meringkas dua kitab hadits paling utama, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, agar lebih mudah diakses oleh masyarakat awam.
Meskipun memiliki pendapatan yang baik dari hasil penjualan buku-bukunya, ia menjalani gaya hidup yang sangat sederhana (zuhud). Ia dikenal banyak berpuasa, dan diriwayatkan pernah berpuasa selama 40 hari berturut-turut hanya dengan meminum air.
Keahliannya diakui secara luas oleh para ulama besar sezamannya. Tokoh-tokoh seperti Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, dan Syekh Ali Ath-Thanthawi semuanya memberikan testimoni dan mengakui bahwa Syekh Al-Albani adalah ahli hadits terbesar di zamannya.
Syekh Nashiruddin Al-Albani wafat pada tahun 1999. Sesuai dengan wasiatnya yang sederhana, jenazahnya segera dimandikan oleh tetangga sekaligus muridnya, Ezzat Khadr. Shalat jenazah kemudian diimami oleh sahabat karibnya, Muhammad Shaqra, setelah shalat Isya, dan ia dimakamkan di sebuah lokasi di selatan Amman, Yordania.
Dari perjalanan hidupnya yang luar biasa, dua karakter utama Syekh Al-Albani yang paling menonjol adalah kemandirian dalam berpikir (mustaqillan fikriyyan) dan ketekunan yang luar biasa (da-uban). Ia tidak ragu untuk menempuh jalan yang berbeda dan memiliki kegigihan yang tak tergoyahkan dalam mengejar apa yang ia yakini sebagai kebenaran.
Kisah hidupnya meninggalkan sebuah pesan penting bagi kita semua, terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan pandangan-pandangannya.
"Jika Anda termasuk orang yang berbeda pandangan dengan Syekh Al-Albani, jangan sampai Anda lupa untuk belajar darinya tentang kegigihan dan ketekunan." Fa rahimahullahu rahmatan waasi’an.