Kalimat tauhid, yang merupakan inti dari seluruh ajaran monoteisme, secara tradisional diterjemahkan sebagai "Tidak ada Ilah (sesembahan/tuhan) selain Allah." Terjemahan ini sangat definitif, berfungsi sebagai proklamasi yang menolak segala bentuk pengabdian kepada selain-Nya (Nafyu) sekaligus menetapkan satu-satunya yang berhak disembah (Itsbāt), yaitu Allah, nama diri yang eksklusif dan suci.
Namun, dalam ranah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, pernah dimunculkan sebuah gagasan terjemahan alternatif: "Tidak ada tuhan selain Tuhan" (dengan membedakan huruf ’t’ kecil dan ’T’ besar). Gagasan ini memicu perdebatan sengit, bukan hanya soal linguistik, melainkan juga teologis.
Pendukung terjemahan alternatif ini biasanya memiliki intensi filosofis yang mulia. Mereka berupaya mengkontekstualisasi makna syahadat dalam menghadapi tantangan modern.
Pemurnian dari ’t’ Kecil: Penggunaan ’t’ kecil menekankan bahwa penolakan dalam syahadat harus diarahkan tidak hanya kepada berhala fisik, tetapi juga kepada ilah-ilah modern seperti kekuasaan, harta, ideologi, dan hawa nafsu. Ini adalah upaya pencerahan intelektual untuk membersihkan Tauhid dari segala bentuk kesyirikan tersembunyi (syirik khafi).
Universalitas Esensi: Pembedaan antara ’t’ kecil (ilah-ilah palsu) dan ’T’ besar (Tuhan yang Sejati) adalah upaya untuk menangkap esensi Tauhid yang universal dan transenden, melampaui batas-batas denominasi semata.
Secara interpretatif, versi ini berhasil menghidupkan dimensi fungsional syahadat sebagai prinsip pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan duniawi.
Meskipun memiliki niat baik, terjemahan alternatif ini menghadapi kritik teologis yang sangat fundamental karena tiga alasan utama:
Kritik paling mendasar adalah penghilangan Lafzul Jalalah (Allah), nama diri yang unik dan eksklusif.
Dalam teologi Islam, "Allah" adalah nama zat yang tidak dapat digantikan oleh kata benda umum seperti "Tuhan" atau "God". Menggantinya dengan "Tuhan" (generik) berisiko mengaburkan identitas yang merupakan inti keimanan. Terjemahan otoritatif secara tegas menunjuk ke Allah, sementara terjemahan baru menyisakan ruang kosong yang diisi oleh kata umum.
Tauhid adalah konsep eksklusif yang menuntut pengakuan tunggal. Kalimat otoritatif (...illaˉ Allaˉh) menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki hak ilahiyah.
Sebaliknya, terjemahan "...selain Tuhan" (generik) berisiko memfasilitasi pluralisme teologis. Jika "Tuhan" dimaknai sebagai Realitas Mutlak yang diyakini setiap agama, maka konsekuensinya adalah "Tuhan" Hindu, "Tuhan" Kristen, dan "Tuhan" Muslim adalah setara dan hanya berbeda nama atau jalan. Konsekuensi ini berlawanan secara diametral dengan prinsip Tauhid Islam yang mengharuskan penolakan mutlak terhadap segala bentuk tuhan lain.
3. Kontradiksi dengan Otoritas Lafal
Syahadat bukan hanya sebuah pernyataan filosofis, tetapi juga sebuah lafaz ibadah (zikir dan pengakuan) yang telah ditetapkan (tawāqquf) secara tekstual dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Menciptakan terjemahan yang berpotensi mengubah makna dasar lafal ibadah dianggap melanggar otoritas syariat dan berisiko menciptakan pemahaman yang menyimpang di kalangan awam.
Gagasan terjemahan "Tidak ada tuhan selain Tuhan" dinyatakan sebagai alat interpretatif untuk mengajak umat merefleksikan dimensi fungsional syahadat dalam kehidupan modern (melawan ilah-ilah palsu). Tetapi seungguhnya gagasan ini juga sudah sangat jelas dan definitif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari versi terjemah otoritatif, sehingga gagasan ini menjadi sebuah gagasan yang tidak lagi relevan, terlebih karena kontroversi yang ditimbulkannya.
Secara teologis, gagasan ini tidak dapat diterima sebagai terjemahan baku atau definitif karena:
Melemahkan keeksklusifan nama Allah.
Membuka pintu bagi interpretasi yang bertentangan dengan prinsip Tauhid yang mutlak.
Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa terjemahan otoritatif "Tidak ada Ilah selain Allah" adalah terjemahan yang benar, karena ia telah mencakup penolakan terhadap semua tuhan palsu sambil secara tegas menetapkan Realitas yang Hakiki, yaitu Allah.