عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي سَفَرٍ , فَأَهْوَيْتُ لأَنْزِعَ خُفَّيْهِ , فَقَالَ: دَعْهُمَا , فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ , فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا))
Dari Al Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu, Beliau berkata; "Pernah saya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah safar. (Ketika wudhu), saya membungkuk hendak membantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melepas kedua khuf (sepatu) beliau. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; "biarkanlah kedua sepatu itu (tidak usah dilepas), sesungguhnya saya telah memakainya dalam keadaan suci.".
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رضيَ اللهُ عنهما قَالَ: ((كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَبَالَ , وَتَوَضَّأَ , وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ)) .
Dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu 'anhuma, Beliau berkata; "Saya pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu beliau buang air kecil, kemudian beliau berwudhu dan membasuh di atas ke dua sepatu (sebagai ganti mencuci kedua kakinya).".
Kedua hadits ini memuat penjelasan tentang disyari'atkannya membasuh khuf atau sepatu ketika berwudhu sebagai ganti dari mencuci kaki.
Syari'at membasuh di atas khuf ini adalah satu diantara keringanan agama terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu dan akan sangat repot baginya jika setiap kali akan berwudhu harus terlebih dahulu membuka dan kembali memasang sepatunya ketika telah usai berwudhu.
Adakah ketentuan-ketentuan agama yang harus terpenuhi agar seorang diperbolehkan memanfaatkan keringanan tersebut ?.
Jawaban dari pertanyaan ini dijawab oleh hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dinyatakan oleh Shafwan bin 'Assaal radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata;
كُنْتُ فِي الْجَيْشِ الَّذِينَ بَعَثَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ؛ ثَلَاثًا إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلَا نَخْلَعَهُمَا إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ. (روه أحمد)
"Saya pernah diutus oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah pasukan. Ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kami untuk cukup membasuh di atas kedua sepatu kami (sebagai ganti dari mencuci kaki ketika berwudhu), yaitu jika kami telah mengenakan kedua sepatu tersebut dalam keadaan suci. Kebolehan tersebut berlaku selama tiga hari tiga malam ketika safar, dan sehari semalam ketika muqim. Dan kami tidak perlu melepas kedua sepatu kami tersebut (selama interval waktu yang disebutkan) kecuali ketika junub.". (HR. Ahmad).
Dari hadits ini diketahui bahwa syarat bolehnya memanfaatkan keringanan ini adalah :
1. Telah mengenakan sepatu atau kaos kaki dalam keadaan suci (tidak berhadats)
2. Interval waktu bolehnya memanfaatkan keringanan tersebut adalah sehari semalam bagi muqim dan tiga hari tiga malam bagi musafir.
3. Keringanan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang berhadats kecil
4. Jika seorang berhadats besar maka batallah keringanan itu; ia wajib melepas sepatunya dan mandi, kemudian boleh kembali memakai sepatu atau kaos kakinya dan membasuh diatasnya dengan ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya.
5. Kebolehan membasuh di atas sepatu atau kaos kaki juga menjadi batal dengan melepas sepatu atau kaos kaki tersebut.
Telah dibahas sebelumnya bahwa syarat sahnya memanfaatkan keringanan "al mash 'alal khuffain" yaitu masa bolehnya memanfaatkan keringanan itu adalah sehari semalam bagi muqim dan tiga hari tiga malam bagi musafir.
Adapun awal dimulainya masa perhitungan itu adalah ketika awal berwudhu dan mengusap di atas sepatu (khuf) setelah berhadats. Contoh;
Ketika berangkat ke kantor (pukul 07.00) seorang mengenakan sepatu dalam keadaan telah berwudhu. Pukul 09.00 ia berhadats (keluar angin). Pukul 12.00 ia berwudhu dengan mengusap di atas kaos kakinya. Maka perhitungan sehari semalam itu bagi orang tersebut (ketika muqim) dimulai dari pukul 12.00 dan bukan dari pukul 09.00.
Mengusap di atas khuf dilakukan dengan membasahi tangan dengan air kemudian mengusap bagian atas sepatu atau kaos kaki sekali basuhan.
Jika seorang mengenakan kaos kaki dan sepatu, maka ia mengusap di atas yang dikenakannya ketika shalat. Jika yang dikenakannya ketika shalat adalah kaos kaki, maka ia wajib melepas sepatunya dan mengusap di atas kaos kaki. Namun jika yang dikenakannya ketika shalat adalah sepatu (misalnya sedang safar di tengah hutan) maka ia mengusap di atas sepatunya.
Masuk dalam masalah yang diberikan keringanan padanya adalah mengusap di atas perban. Jika seorang luka yang menyebabkan anggota wudhunya harus diperban, dimana padanya ada luka yang tidak boleh terkena air (akan menyebabkan luka tersebut bertambah parah atau proses penyembuhannya akan menjadi lama); maka dalam keadaan ini, agama memberi keringanan baginya untuk mengusap di atas perban tersebut.
Jika anggota wudhu yang tidak boleh terkena air (diperban) hanya sebagian (misalnya dari jari tangan hingga setengah dari batas siku), maka boleh mengusap pada bagian yang diperban itu saja. Adapun bagian yang tersisa (setengah lengan hingga siku), maka tetap wajib mencucinya dengan air.
Jawabannya ; tidak demikian. Namun waktu keringanan tersebut dimulai ketika adanya luka tersebut dan berakhir ketika luka itu telah sembuh. Inilah satu diantara perbedaan ketentuan hukum yang berlaku pada syari'at mengusap di atas khuf dengan ketentuan hukum yang berlaku pada syari'at mengusap di atas perban. Dan diantara perbedaan lainnya adalah status hukum mengusap di atas khuf adalah sunnah. Adapun status hukum mengusap di atas perban, maka bisa saja menjadi wajib, yaitu ketika jiwa seseorang terancam jika luka yang dideritanya terkena air.
Ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang menyatakan boleh membasuhnya, yaitu jika serban atau penutup kepala itu melililit dan atau sukar untuk dibuka pasang. Bilal radhiyallahu 'anhu berkata, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda;
امْسَحُوا عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْخِمَارِ
"Basuhlah di atas kedua sepatu dan khimar (surban).". (HR. Ahmad), yaitu ketika berwudhu. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata;
والنساء يدخلن في الخطاب المذكور تبعاً للرجال كما دخلن في المسح على الخفين
"Hukum wanita dalam membasuh di atas penutup kepalanya (khimar atau jilbabnya) adalah sama dengan hukum membasuh di atas surban bagi laki-laki, yaitu boleh.". Jika saja laki-laki dibolehkan membasuh di atas surbannya karena adanya kesukaran yang timbul dengan membuka dan kembali mengenakan surbannya itu setiap kali akan berwudhu, maka sebab yang sama pun dialami oleh wanita terkait dengan jilbab atau penutup kepala yang dikenakannya. Bahkan kesukaran yang dialami oleh wanita boleh jadi lebih besar karena jilbab atau penutup kepala yang mereka kenakan juga lebih besar, harus menutupi bagian yang lebih banyak dari bagian yang tertutup dari sebuah surban. Ditambah lagi bahwa seorang wanita biasanya akan sangat sulit berwudhu di tempat umum jika harus membasuh kepalanya secara langsung, sementara ia wajib menutup aurat (rambutnya) agar tidak terlihat oleh orang-orang yang bukan mahramnya. Al Hasan berkata tentang Ummu Salamah radhiyallahu 'anha;
أَنَّهَا كَانَتْ تَمْسَحُ عَلَى الْخِمَارِ
"Beliau pernah membasuh di atas khimar (penutup kepalanya), yaitu sebagai ganti membasuh di atas kepala.". (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Jawabannya ; hal itu tidak disyaratkan. Kebolehan tersebut berlaku secara mutlak, meski orang yang mengenakan penutup kepala itu tidak mengenakannya dalam keadaan suci.