Sejak zaman dahulu, manusia telah berupaya menemukan cara untuk menetapkan bahwa suatu entitas memiliki keberadaan yang faktual. Proses pembuktian ini sangat esensial karena pada akhirnya akan mengantarkan kita pada "ilmu"—sebuah pengetahuan yang faktual dan meyakinkan tentang hakikat sesuatu.
Dalam tradisi pemikiran Barat, pembuktian ini terbagi menjadi dua pendekatan utama:
1. Objektisisme (Berpusat pada Objek) Pendekatan ini meyakini bahwa objek itu sendiri yang menjadi penentu akhir apakah suatu entitas benar-benar ada secara ilmiah atau tidak. Kebenaran diukur secara eksklusif dari data empiris yang dapat diamati oleh indera. Dalam pandangan ini, akal dan indera berfungsi sebagai instrumen pasif untuk merekam realitas apa adanya.
2. Kritisisme (Berpusat pada Subjek) Pendekatan ini, yang dipelopori oleh Immanuel Kant, berpendapat bahwa subjek yang meneliti memegang peran krusial dalam menentukan kebenaran ilmiah. Instrumen yang digunakan tetap akal dan indera, namun diyakini bahwa apa yang ditangkap oleh indera (fenomena) belum tentu sama dengan realitas faktualnya (noumena).
Analogi yang sempurna untuk hal ini adalah fenomena seseorang yang memakai kacamata hijau saat melihat kertas putih. Meskipun indranya melaporkan bahwa kertas itu berwarna hijau, pemahaman yang sebenarnya akan sampai pada kesimpulan bahwa warna faktual kertas tersebut adalah putih. Kesimpulan ini dicapai melalui proses olah pikir yang membandingkan pengalaman indrawi (a posteriori) dengan kerangka pengetahuan yang sudah ada di dalam diri subjek (a priori), yaitu konsep ruang dan waktu, serta pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dengan kata lain, ilmu tidak hanya dibentuk oleh objek yang diamati, tetapi juga oleh struktur kognitif subjek yang mengamatinya.
Inilah gambaran ringkas konsep keilmuan modern dari Barat. Lantas, muncul pertanyaan mendasar: apakah metode ini dapat diterapkan untuk menguji keberadaan faktual dari entitas yang bersifat metafisik atau transenden?
Pada titik inilah, perbedaan mendasar antara konsep keilmuan Barat dan Islam terlihat. Secara umum, konsep keilmuan Barat menolak khabar shadiq (kabar atau wahyu yang terpercaya) sebagai sumber ilmu primer. Sebaliknya, Islam menempatkan khabar shadiq sebagai sumber kebenaran absolut. Kebenaran ini diyakini sebagai puncak ilmu, yang kemudian diperkuat dan dikonfirmasi oleh akal dan indera manusia.
Dengan demikian, kedua konsep ini memiliki jalan yang berbeda dalam mencapai kebenaran: Barat mengandalkan sepenuhnya pada sintesis akal dan pengalaman indrawi, sementara Islam menempatkan wahyu sebagai fondasi kebenaran mutlak yang melampaui keterbatasan akal dan indera manusia