Perjalanan mencari ilmu adalah sebuah ikrar luhur. Namun, dalam setiap perjalanan, integritas diri seringkali diuji oleh realita yang kontras: idealisme yang dipelajari dan ketidaksempurnaan dari sosok yang menyampaikan ajaran.
Renungan ini ditujukan bagi setiap jiwa yang bercita-cita tinggi untuk menjaga kesungguhan hati dan kemuliaan adab dalam setiap interaksi kebaikan, tanpa membiarkan keraguan meruntuhkan semangat.
I. Menghadapi Panggilan Kebaikan dengan Kerendahan Hati
Sering kali muncul keengganan untuk berbagi kebaikan atau berdakwah karena kesadaran akan kekurangan diri yang masih banyak. Ada keraguan: "Bagaimana mungkin mengajak orang lain, sementara diri sendiri belum sempurna?"
Ini adalah pemikiran manusiawi, namun perlu disikapi dengan bijak:
1. Kesempurnaan Bukan Syarat Kewajiban: Tugas menyampaikan kebenaran tidak menuntut kesucian tanpa cela. Ia adalah sebuah kewajiban yang berbanding lurus dengan ilmu yang kita ketahui.
2. Berdakwah Sambil Berbenah: Justru dengan berbagi, kita termotivasi untuk senantiasa menguatkan konsistensi diri. Aktivitas kebaikan dan perbaikan diri adalah dua jalur yang berjalan beriringan.
3. Fokus pada Pesan, Bukan Pembawa: Keagungan terletak pada substansi ilmu yang disampaikan, bukan pada kesempurnaan individu yang menyampaikannya. Anggaplah proses berbagi itu sebagai dorongan untuk muhasabah (introspeksi) pribadi yang jujur.
II. Memilah Etika dalam Berinteraksi dengan Pengajar
Dalam proses belajar, kita tentu berharap melihat cerminan ajaran pada diri pengajar. Ketika terjadi kesenjangan antara perkataan dan perbuatan—antara teori ideal dan praktik nyata—integritas diri pembelajar diuji.
Maka, setiap penuntut ilmu harus memiliki kemampuan memisahkan yang matang:
· Otoritas Ilmu Lebih Tinggi: Ilmu, nilai-nilai, dan kebenaran itu sendiri jauh lebih mulia daripada siapa pun yang menyampaikannya. Kecacatan personal tidak serta merta membatalkan kebenaran yang diucapkan.
· Tanggung Jawab Moral Pribadi: Kekurangan pada sosok pengajar tidak dapat menjadi pembenar bagi seseorang untuk bersikap tidak sopan atau meremehkan proses pembelajaran. Adab dan integritas adalah amanah yang harus dijaga secara mandiri.
· Hormati Sistem: Penghormatan juga ditujukan kepada lembaga dan sistem yang telah memfasilitasi ilmu. Ketidaksempurnaan satu individu tidak dapat meruntuhkan apresiasi terhadap manfaat kolektif yang diberikan institusi.
Intinya: Hormati posisi pengajar dan ilmu yang disampaikannya, tetapi jangan jadikan perilaku buruk mereka sebagai patokan.
III. Mengatasi Jebakan Perilaku Praktis
Sering kali, salah paham atau kritik terhadap pengajar terpicu oleh hal-hal praktis individual yang sangat kasatmata—seperti posisi di saf salat, keterlambatan, atau pilihan pribadi yang tampak kontras dengan idealisme ajaran.
Dalam situasi ini, adab berprasangka baik (husnuzan) menjadi benteng terkuat integritas:
1. Realitas Manusiawi: Pendidik adalah manusia yang rentan terhadap kompleksitas hidup (sakit, urusan mendesak, atau pertimbangan strategi yang tak terlihat). Tidak semua perilaku praktis personal perlu dijelaskan atau dinilai.
2. Mencegah Sikap Menghakimi: Ketika kita terlalu fokus pada performa praktis personal, kita rentan jatuh ke dalam sikap cepat menghakimi dan ujub (bangga diri). Sikap ini akan menutup pintu keberkahan ilmu dan merusak kesucian hati penuntut ilmu itu sendiri.
3. Fokus pada Mengambil Inti: Selama substansi ilmu yang disampaikan benar, energi harus difokuskan pada pengamalan ilmu, bukan pada penilaian performa harian pengajar.
Kesungguhan dalam menuntut ilmu menuntut kedewasaan etika: kemampuan untuk tetap hormat dan berprasangka baik terhadap sosok pengajar, sambil menjaga standar moral pribadi dari pengaruh yang negatif. Dengan demikian, kita melindungi hati dari kotoran sinisme dan memastikan bahwa niat untuk mencari ilmu tetap murni dan tidak tergoyahkan.