Manusia merupakan makhluk sosial dan berperadaban. Pendidikan merupakan term kunci dalam perubahan masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam posisi utama. Hal ini bisa dipahami jika kita mentadabburi ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lima ayat pertama dalam surat al-Alaq berisi perintah untuk membaca dengan memahami.
Dinamis adalah sifat dasar dari dunia dan seluruh makhluk yang menempatinya, dan termasuk pula seluruh sistem yang digunakan untuk menunjang kehidupan dunia. Olehnya maka istilah pembaharuan adalah sebuah istilah yang lekat dalam kehidupan mengiringi dinamisasi yang merupakan sifat dasar dari dunia tersebut.
Pendidikan sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah sebuah sistem yang akan membentuk sebuah peradaban. Lebih spesifik lagi pendidikan Islam yang diharapkan mampu membentuk sebuah peradaban yang islami. Namun adakah pendidikan Islam adalah sebuah sistem yang mungkin menjadi objek dari pembaharuan itu? Dan apa yang dimaksud dengan kata ‘pembaharuan’ itu sendiri?. Dalam kenyataannya ada dua corak pemikiran dalam memahami dan mengaplikasikan pembaharuan dalam Pendidikan Islam, yaitu; corak pemikiran tradisonal dan corak pemikiran modernis. Bagaimana paradigma Islam terhadap kedua corak pemikiran tersebut dan apakah keduanya bertolakbelakang atau keduanya dapat berjalan secara sinergi?
Keberhasilan suatu pendidikan dapat dilihat dan diukur dari parameter output atau
outcomenya dan ditambah pula dari pengamatan terhadap proses Pendidikan tersebut. Bila lulusan/output yang dihasilkan adalah baik kualitas dan kapasitasnya, maka bisa dikatakan pendidikan tersebut berhasil dan begitulah sebaliknya.
Diantara isu yang berkembang dalam aktivitas manusia saat ini adalah isu tentang pembaharuan di berbagai sisi kehidupan. Dalam bidang pendidikan khususnya, isu ini menguat dilatarbelakangi oleh keinginan melakukan kegiatan Pendidikan secara lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan. Isu ini menjadi lebih kuat karena munculnya berbagai temuan penunjang berupa fasilitas Pendidikan yang canggih dan terkini.
Namun yang menjadi pertanyaan mengapa justru dengan semakin banyaknya
pembaharuan dalam bidang Pendidikan lulusannya malah semakin menurun kualitas
dan kapasitasnya. Bahkan jika kita melihat sejarah, akan kita dapati begitu berjayanya
Islam dengan segala praktik pendidikan dan keilmuannya pada masa-masa di mana Eropa memasuki era kegelapan. Adakah paradigma yang salah dalam memahami konsep pembaharuan dalam dunia Pendidikan, yang mengharuskan kita untuk kembali kepada konsep Pendidikan Islam tradisional?
Makalah yang sedang anda baca ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana paradigma yang benar terhadap modernisasi dalam pendidikan Islam dengan melakukan perbandingan antara pola Pendidikan tradisional dan pola Pendidikan yang mengusung konsep modernitas.
“Pembaharuan” (tajdiid) sesungguhnya merupakan istilah yang sudah dikenal dalam Islam. Pembaharuan itu sendiri sudah dilakukan bahkan sebelum diangkatnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul. Di masa itu, domain pembaharuan agama berada di tangan nabi dan Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَت بَنُو إسرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبياءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبيٌّ
“Dahulu urusan bani Israil diatur oleh nabi-nabinya. Setiap kali wafat seorang nabi, maka akan digantikan oleh nabi setelahnya.” (Bukhari, 1311 H). Demikianlah hal ini diantaranya dapat dipahami di saat diutusnya nabi Nuh ‘alaihissalaam kepada kaumnya, yaitu ketika telah terjadi penyimpangan akidah secara global pada kaum tersebut. Kejadian ini diabadikan oleh Allah melalui firman-Nya;
قَالَ نُوحٞ رَّبِّ إِنَّهُمۡ عَصَوۡنِي وَٱتَّبَعُواْ مَن لَّمۡ يَزِدۡهُ مَالُهُۥ وَوَلَدُهُۥٓ إِلَّا خَسَارٗا ٢١ وَمَكَرُواْ مَكۡرٗا كُبَّارٗا ٢٢ وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا [نوح: 21-23]
“Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku dan mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya.” Mereka pun melakukan tipu daya yang sangat besar. Mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhanmu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan Wadd, Suwā‘, Yagūṡ, Ya‘ūq, dan Nasr.” (Nuh; 21-23). Tentang ayat ini, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahuma berkata menjelaskan nama dari orang-orang yang disembah tersebut;
وكانوا أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلمّا هَلكوا أوحى الشيطانُ إلى قومهم: أن انصِبُوا إلى مجالسهم التي كانوا يَجلسون أنصابًا، وسَمُّوها بأسمائهم. ففعلوا، فلم تُعبد، حتى إذا هَلك أولئك ونُسخ العلم عُبدت
“Nama-nama yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah nama dari orang-orang shaleh dari kaum nabi Nuh ‘alaihissalaam. Ketika orang-orang shaleh itu telah meninggal, syaithan datang memberi was-was kepada kaumnya agar mereka membuat patung orang-orang shaleh itu dengan nama-namanya, serta memajangnya sebagai pengingat ketika mereka berada dalam keadaan lemah iman. Setelah itu, merekapun melakukannya. Di masa awal setelah dibuatnya patung-patung itu, patung-patung tersebut belum disembah. Namun setelah generasi-generasi awal itu wafat dan ilmu agama telah dihilangkan, maka patung-patung itu pun diangkat sebagai sembahan selain Allah.” (Quraaniyyah, 2017). Maka disaat kekufuran itu merebak, Allah pun mengutus nabi Nuh ‘alaihissalaam sebagai pembaharu (mujaddid)
Demikianlah pembaharuan sebelum zaman Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi domain dari nabi dan rasul yang diutus bagi masing-masing kaumnya. Adapun setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul, maka domain itupun berpindah kepada para ulama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
“Sesungguhnya Allah di awal setiap 100 tahun akan mengutus seorang pembaharu (mujaddid) agama”. (Daud, 1323 H). Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Ilmu agama ini akan diemban oleh orang-orang terpercaya dan berintegrasi disetiap zamannya. Mereka akan melenyapkan penyimpangan kelompok yang berlebihan, dan melindungi agama dari upaya licik penganut kebatilan, serta upaya penyesatan orang-orang bodoh untuk mengaburkan dan melenyapkan syari’at.”. (Baihaqi, 2003)
Dari uraian ini diketahui bahwa pembaharuan dalam Islam bukanlah hal yang baru. Menguatkan hal itu adalah bahwa satu diantara karakter syariat Islam yang membedakannya dari ajaran-ajaran agama lainnya adalah syumuliyyah (berlaku untuk seluruh manusia, lintas usia, tempat dan waktu hingga hari kiamat). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa satu diantara keistimewaan yang diberikan kepada beliau tidak kepada rasul-rasul selainnya adalah;
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً
“Para nabi terdahulu diutus hanya untuk kaumnya saja. Adapun aku, maka aku diutus untuk seluruh manusia.” (Bukhari, 1311 H). Di sisi lain kita mengetahui bahwa dunia dengan segala kompleksitasnya memiliki sifat yang sangat dinamis, maka keadaan tersebut tentu secara otomatis akan melibatkan Islam sebagai agama yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi seluruh manusia hingga akhir zaman. Dengan kata lain bahwa dinamisasi dunia akan berjalan searah dengan tetapan hukum-hukum Islam terkait dengan apapun perubahan dunia yang timbul akibat dinamisasi itu. Olehnya maka Islam dan pembaharuan atau Islam dan modernitas adalah dua hal yang tidak seharusnya dipertentangkan, keduanya adalah satu paket yang tidak terpisah.
Dengan dipahaminya bahwa pembaharuan (tajdid) merupakan bagian integral dari Islam itu sendiri, kita dapat melangkah lebih jauh untuk memahami penerapannya dalam ranah pendidikan. Pendidikan Islam, sebagai entitas yang dinamis dan berakar pada nilai-nilai agama, tidak terlepas dari proses tajdid ini. Untuk menganalisis bagaimana tajdid dapat diterapkan, kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan "Pendidikan Islam" itu sendiri, yang ternyata memiliki makna berlapis dan saling berkaitan.
Arti dari frase “Pendidikan Islam” ada tiga, yaitu;
Pertama, pendidikan (menurut) Islam, berdasarkan sudut pandang bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Pembahasan mengenai pendidikan (menurut) Islam lebih bersifat filosofis.
Kedua, pendidikan (dalam) Islam, berdasar atas perspektif bahwa Islam adalah ajaran-ajaran, sistem budaya, dan peradaban yang tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang. Pendidikan (dalam) Islam ini dapat dipahami sebagai proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah Islam. Pembahasan pendidikan (dalam) Islam lebih bersifat historis atau disebut sejarah pendidikan Islam.
Ketiga, pendidikan (agama) Islam, muncul dari pandangan bahwa Islam adalah nama bagi agama yang menjadi panutan dan pandangan hidup umatnya. Agama Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai ajaran yang berasal dari Allah yang memberikan petunjuk ke jalan yang benar menuju kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Pendidikan (agama) Islam dalam hal ini bisa dipahami sebagai proses dan upaya serta cara transformasi ajaran-ajaran Islam tersebut, agar menjadi rujukan dan pandangan hidup bagi umat Islam. Pembahasan pendidikan (agama) Islam lebih menekankan pada teori pendidikan Islam (Burga, Marjuni, & Rosdiana, 2019).
Pendidikan Islam dengan ketiga makna yang telah disebutkan tidak akan lepas dari Islam sebagai komponen utama yang lekat pada kata itu. Sehingga apapun yang menjadi makna dari frase itu tetaplah dinyatakan bahwa ruh yang lekat pada kata Pendidikan itu adalah nilai-nilai Islam yang seharusnya tidak pudar dari upaya Pendidikan yang tengah dilaksanakan. Bahkan melalui upaya pendidikan yang dilaksanakan idiharapkan ipara peserta didik akan mampu beradaptasi terhadap dinamika iperadaban moderniisecara iaktif dan iprofesional, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilaiiilahiyah sebagai warnaidan inilai kontrol.
Pendidikan Islam sebagai sebuah komponen yang sarat dengan nuansa keislaman tidak lepas dari isu pembaharuan (tajdiid). Hanya dalam kenyataannya ada dua kubu dalam memahami tajdiid tersebut. Satu kubu memahaminya sebagai sebuah bentuk revitalisasi dan kubu yang lain memahaminya lebih jauh hingga sampai pada taraf dekonstruksi dan rekonstruksi ulang (merombak hingga ke pondasinya dan membangun baru). Olehnya itu, maka paradigma terhadap tajdiid haruslah diperjelas.
Kata “tajdid” berasal dari akar kata “jaddada – yujaddidu – tajdiidan” (Mukhtaar, 2008) berarti menjadikan sesutau yang telah usang kembali menjadi baru. Defenisi secara kebahasaan ini mengantar kita pada beberapa kesimpulan, yaitu;
1. Telah ada sebuah bangunan
2. Bangunan itu telah menjadi bangunan yang tua di makan usia; tertutup oleh debu, kotoran dan terdapat retak di sana-sini.
3. Memperbaharui bangunan itu tidak berarti menghancurkan bangunan itu hingga ke pondasinya. Namun memperbaharuinya dilakukan dengan membersihkan debu dan kotoran yang menempel serta memperbaiki keretakan-keretakan yang ada pada bangunan tersebut.
Demikianlah makna kata tajdiid menurut akar katanya secara bahasa. Adapun secara istilah menurut konteks pendidikan agama Islam, maka kata tajdiid mengandung tiga makna, yang pemaknaannya tersebut merujuk pada asal defenisinya secara bahasa dan kejadian yang melatarbelakangi timbulnya tajdiid pada masa sebelum diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullah. Tiga makna itu adalah;
A. Mengembalikan kemurniaan dan kesesuaian agama sebagaimana asalnya.
Islam sebagai syari’at yang berlaku syamil (menyeluruh) hingga hari kiamat harus selalu berada dalam keadaan murni dan dipahami serta diamalkan sebagaimana agama tersebut dipahami dan dijalankan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rahimahullah berkata:
لن يُصلِحَ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصلَحَ أولَها
“Tidak akan ada satupun yang akan dapat memperbaiki keadaan akhir umat ini melainkan sesuatu yang telah menjadikan generasi awalnya sebagai generasi yang terbaik.” (Sahmaan, 1992)
Dalam konteks ini, segala upaya rekayasa ulang terhadap agama adalah hal yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid’ah itu adalah sesat.” (Hanbal, 1995). Dalam hadits lainnya, beliau bersabda;
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sebuah perkara baru dalam urusan kami ini berupa sesuatu yang tidak ada tuntunannya, maka apa yang diada-adakannya itu akanlah tertolak.” (Bukhari, 1311 H)
Dengan demikian maka Tajdid dalam makna ini berarti:
1. Membebaskan agama dari bid'ah (inovasi yang tidak sesuai dengan ajaran) dan takhayul. Pendidikan harus mengajarkan ajaran yang otentik dan sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, bukan praktik yang menyimpang.
2. Memperbaharui pemahaman. Di setiap zaman, tantangan baru muncul. Tajdid berarti menginterpretasikan kembali ajaran agama agar relevan dan aplikatif dalam konteks modern tanpa mengubah prinsip dasarnya. Ini memungkinkan pendidikan agama Islam untuk terus relevan dan menjawab isu-isu kontemporer.
B. Kembali menghidupkan bagian-bagian yang telah pudar dari agama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
ومن أحيا سنتي فقد أحبني ومن أحبني كان معي في الجنة
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka sungguh ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa mencintaiku, maka kelak ia akan bersamaku di dalam surga.” (Mas'ud, 1987). Menghidupkan kembali sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -khususnya- untuk saat ini adalah suatu hal yang sangat penting, terlebih di tengah menurunnya semangat keberislaman kaum muslimin dan ditambah dengan infiltrasi pemikiran asing yang sangat massif berusaha mengaburkan nilai dan ajaran Islam serta menjauhkan kaum muslimin dari para ulama.
C. Menyebarkannya ke seluruh manusia (dakwah)
Redupnya nilai-nilai Islam di masyarakat sebagaimana disebutkan dalam point kedua menegaskan perlunya upaya sosialisasi yang massif dari nilai dan syari’at Islam ke seluruh lapisan masyarakat di manapun mereka berada. Maka satu diantara hal yang diusung oleh seorang mujaddid adalah semangat yang kuat untuk menyebarkan paham Islam yang benar ke seluruh lapisan masyarakat tersebut. Allah berfirman:
﴿كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ﴾ [آل عمران: 110]
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imraan; 110).
Dari seluruh penjelasan yang telah disampaikan maka dinyatakan bahwa pembaharuan dalam perspektif Islam adalah upaya untuk kembali menghidupkan dan mengembalikan nilai, norma dan ajaran-ajaran Islam hingga kembali sebagaimana asal disyari’atkannya melalui tuntunan dan bimbingan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mendakwahkannya kepada ummat.
Defenisi yang disebutkan ini, sangat berbeda dengan defenisi barat terhadap kata “tajdiid” ini. Tajdiid tidak sekedar mereka artikan sebagai upaya revitalisasi bahkan juga mereka defenisikan sebagai upaya dekonstruksi dan rekonstruksi (merombak dan membuat bangunan baru) yang sesuai dengan keinginan pembangunnya. Dalam wilayah bahasan Islam, seakan pelaku tajdid ini memandang bahwa ajaran Islam telah usang. Lantas ia melakukan pembaharuan terhadap nilai dan ajaran-ajaran Islam hingga ke pondasinya, dan kemudian melakukan rekonstruksi hingga memunculkan Islam dengan wajah yang baru.
Pendidikan tradisional diidentikkan dengan pendidikan pesantren yang pelaksanaannya dilakukan secara nonformal melalui pendekatan takhassus, kaderisasi. Orientasi pendidikan tradisional adalah mengemban tugas suci, yaitu menyatukan antara praktek ajaran Islam dengan sumber ajaran Islam, serta menyebarkan agama (dakwah).
Di Indonesia, ada dua model pendidikan sebagai representasi pendidikan Islam yang berkembang sejak masuknya Islam hingga memasuki abad ke-20, yaitu model pesantren dan surau. Model pesantren tumbuh dan berkembang di Jawa, sedangkan surau di Sumatera.
Diantara ciri dari pola pendidikan tradisional adalah adanya sosok kiai sebagai pimpinan sebuah pondok yang sangat karismatik dan bahkan menjadi sosok yang dikultuskan. Dari aspek proses pendidikan, hampir dipastikan metode pembelajaran yang diterapkan dengan menggunakan metode ceramah yang monoton, tanpa dialog. Materi yang diajarkan hanya terfokus pada pelajaran agama seperti tertuang dalam kitab Islam klasik, misalnya kitab yang terkait dengan nahwu, sharaf, fikih, usul fikih, hadis, tafsir, tauhid, dan lainnya.
Dalam KBBI, kata modernitas didefenisikan sebagai kemodernan, yang berasal dari akar kata modern, berarti; terbaru; mutakhir. Tom Jacob memaknai modern sebagai sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. (Ulum, 2020)
Adapun dalam dunia Pendidikan Islam, sebagian kalangan mengartikannya sejalan dengan defenisi modernisasi dalam pandangannya, yaitu; merubah status quo dan mencari cara baru yang cocok untuk memecahkan masalah aktual (Bahri, 2021). Bertolak dari defenisi ini, sebagian kalangan dalam aplikasinya terhadap terapan modernitas dalam Pendidikan Islam melakukan upaya utak-atik terhadap hal-hal mendasar yang oleh ulama telah dinyatakan sebagai perkara baku (mujma’ ‘alaihi). Lebih parahnya lagi karena kelompok ini menyuarakan bolehnya seluruh kalangan melakukan upaya itu, yang oleh mereka dinyatakan sebagai bentuk ijtihad; melakukan ‘pembacaan’ ulang terhadap teks-teks keagamaan (qiraah muntijah), memasukkan metode hermeneutika sebagai cara baru dalam melakukan penafsiran terhadap teks-teks agama, memudarkan atau bahkan mematikan otoritas ulama sebagai rujukan beragama, dan yang semisalnya.
Demikianlah tujuan dari upaya moedrnitas dalam dunia Pendidikan yang dilakukan oleh kalangan tersebut, lebih diarahkan kepada upaya westernisasi dan liberalisasi. Padahal sejatinya bahwa pembaharuan pendidikan Islam merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan, baik dari segi cara, konsep, dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka menghantarkan Pendidikan Islam ke keadaan yang lebih baik, dan menghantarkan para peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Admin, 2021)
Telah diulas sebelumnya bahwa Islam dan pembaharuan bukanlah dua hal yang berjalan berlawanan arah. Bahkan sesungguhnya, pembaharuan itu adalah satu diantara mekanisme agama sebagai bukti bahwa agama ini berisi syari’at, norma dan aturan yang kekal hingga hari kiamat.
Modernisasi Islam, atau lebih tepatnya adalah modernisasi paham keagamaan dalam Islam pada hakekatnya merupakan upaya pemurnian atau penyesuaian paham keagamaan dalam Islam dengan paham dan pemikiran yang berkembang di periode modern dengan tetap merujuk pada sumber ajaran Islam yang utama (al-Qur’an dan Hadis) atas dasar arahan dari para ulama yang merupakan pewaris sekalian nabi.
Pembaharuan Islam bukanlah untuk mengubah, menambahi atau mengurangi teks keagamaan yang sudah diyakini kebenarannya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis, melainkan melakukan kajian ulang terhadap paham keagamaan atau paham yang dianggap berkaitan dengan agama, dan atau sebagai ikhtiar intelektual dalam merespon berbagai persaoalan kontemporer.
Olehnya itu, maka pembaharuan dalam pendidikan Islam adalah hal yang baik jika paradigmanya diarahkan kepada proses revitalisasi. Namun akan menjadi buruk jika paradigmanya diarahkan kepada proses dekonstruksi dan rekonstruksi, sebuah proses yang tidak memperbaiki penanaman nilai-nilai keislaman dalam diri peserta didik, tetapi justru akan menghancurkan nilai-nilai tersebut dalam diri mereka dan menggantinya dengan nilai-nilai paham yang tidak sejalan dengan Islam.
Pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam adalah suatu langkah adaptif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang komplek. Di sisi lain, hal ini sebagai bukti eksistensi pendidikan yang mengusung Islam sebagai sumber ideologinya yang selalu merespon fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat hingga hari kiamat.
Modernisasi yang dimaksud adalah upaya untuk melestarikan dan mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Lahirnya teknologi informasi di tengah-tengah masyarakat harus bisa disikapi secara positif dengan tidak menutup kesadaran dan selalu meningkatkan keingintahuan sehingga kita bisa menyikapi kehadiran informasi teknologi ini secara proporsional.
Kehadiran Lembaga-lembaga pendidikan Islam di tengah-tengah masyarakat dan eksistensinya saat ini diharapkan mampu menggabungkan antara sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan berbasis modernitas. Kolaborasi demikian adalah sebuah langkah positif dalam upaya menyelaraskan antara idealisme Islam yang wajib lekat dalam sistim pendidikann Islam dengan kebutuhan masyarakat yang kian bertambah seiring dengan kemajuan tekhnologi yang kian pesat.
1. Admin, 2021. Kepegawaian Universitas Medan Area. [Online]
Available at: https://kepegawaian.uma.ac.id/tujuan-pendidikan-nasional/
[Accessed 10 08 2022].
2. Bahri, S., 2021. New Modernisme Fazlur Rahman Dalam Paradigma Pendidikan Islam. Ri'ayah, Volume 6, p. 13.
3. Baihaqi, A. b. A. H. A., 2003. As Sunan Al Kubra. 3 ed. Libanon: Daarul Kutub Al 'Ilmiyyah.
4. Bukhari, M. b. I. A., 1311 H. Al Jaami'e Al Musnad As Shahiihu Al Mukhtashar Min Umuuri Rasulillah Wa Sunanihi Wa Ayyamihi. Mesir: As Shulthaaniyyah.
5. Daud, S. b. A. A. A., 1323 H. Sunan Abi Daud. India: Al Mathba' Al Anshaariyyah.
6. Effendi, M. & Suradi, 2014. Transformasi Kurikulum Pesantren Telaah Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh. Cendekia, Volume 12, p. 15.
7. Hanbal, A. b. M. b., 1995. Musnad Al Imam Ahmad bin Hanbal. 1 ed. Kairo: Daarul Hadits.
8. Husain, M. Y. I., 2012 M. Fiqhu Al Awlawiyyaat Fil Khithaabi As Salafiy Al Mu'aashir Ba'da At Tsaurah. Mesir: Daarul Yusr.
9. Kemenag, 2022. Quran Kemenag. [Online]
Available at: https://quran.kemenag.go.id/
[Accessed 11 8 2022].
10. Khoiruddin, M., 2018. Pendidikan Islam Tradisional dan Modern. Tasyri’, Volume 25, p. 92.
11. Mas'ud, A. H. b., 1987. Mashaabiihus Sunnah. I ed. Beirut: Daarul Ma'rifah.
12. Mukhtaar, A., 2008. Mu'jam Al Lughah Al 'Arabiyyah Al Mu'aashirah. 1 ed. s.l.:'Aalam Al Kutub.
13. Quraaniyyah, M. A. D. w. M. A., 2017. Mausu'ah At Tafsiir Al Ma'tsuur. Beirut: Daaru Ibni Hazm.
14. Sahmaan, S. b., 1992. Ad Dhiya As Syaariq Fi Raddi Syubhaati Al Maadziq Al Maariq. 5 ed. Riyadh: Riaasatu Idaarati Al Buhuuts Al 'Ilmiyyah wal Iftaa.
15. Ulum, M., 2020. Modernisasi Pendidikan Islam. Ta'lim Diniyyah: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 1, p. 98.
16. ZA, T., 2009. Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisonal dan Modern). Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.